KEPENTINGAN PROFESIONAL DAN PUBLIK



A.      KEPENTINGAN PROFESIONAL
Kita tahu bahwa profesional harus bertindak demi kepentingan klien. Profesional memiliki tanggungjawab yang besar terhadap janji mereka kepada para klien. Pertama, klien hanya perlu mempercayai profesional, artinya klien hanya perlu percaya bahwa profesional itu sanggup dan mampu memberi bantuan yang sesuai dengan harapan mereka. Namun hal tersebut mulai menghilang karena kesanggupan profesional untuk meningkatkan kesejahteraan klien tidak lagi menjadi motivasi utama profesional. Para profesional hanya mencari keuntungan untuk diri mereka sendiri. Kedua, seorang klien berhak untuk bertanya apakah setiap keputusan yang diambil oleh profesional bermanfaat dan sesuai bagi klien atau tidak. Dua poin di atas cukup memberi alasan kepada kita apakah motivasi lain bisa mendorong profesional tertentu, seperti keinginan untuk mendapatkan uang banyak, cinta kasih terhadap umat manusia, dan keinginan untuk memberi kegembiraan kepada orang lain sejalan dengan legitimasi (pengesahan) profesional; dan jika tidak, apakah ada suatu motivasi profeional yang pada dirinya sendiri sejalan dengan legitimasinya.
Seorang klien harus menginstrumentalkan praktek, berarti mengurangi status klien sebagai pribadi yang dibantu agar mereka dapat membantu diri sendiri dan menjadikan klien itu sebagai objek yang ditindaki. Bila motivasi profesional merupakan hal yang ekstrinsik pada kegiatan yang dilakukan, maka legitimasi profesional menjadi problematis, hakikat profesional dipersempit menjadi ahli atau pemberi pelayanan berdasarkan kontrak. Bila praktek hanya merupakan masalah sarana untuk sesuatu di luar praktek, maka orang yang menjalani praktek tidak memusatkan perhatian kepada kepentingan klien yang sifatnya pribadi, khusus, dan khas.
Kegiatan kaum profesional secara intrinsik memuaskan, secara perorangan mereka mendapat bagian dalam kebaikan khusus yang sama, yang mereka usahakan demi kebaikan klien. Keuntungan ini tidak seperti uang, kebaikan ini bukan satu-satunya kebaikan yang diwujudkan oleh para professional yang menjalankan praktek dengan berdasarkan janji. Disamping kebaikan ini, mereka mendapatkan kebaikan secara formal.
Pertanggung jawaban dan pengawasan jelas merupakan pengertian yang saling berhubungan. Kebaikan dalam kepentingan professional bersifat individual dan tidak dapat dicapai tanpa kerja sama yang baik dengan klien. Namun ketergantungan ini berarti bahwa profesional mempunyai cara untuk membatasi keterlibatan dengan orang yang pasif dalam hubungan perkerjaan atau badan usaha. Sebagai seorang ahli/professional biasanya menggunakan kecakapannya menurut apa yang dilihatnya.
Tidak semua pemberi pelayanan berdasarkan keahlian atau kontrak telah disumpah dapat dengan sah mengajukan tuntutan untuk bekerjasama dengan klien. Membuat klien mengakui tanggungjawab merupakan setengah dari masalah kepentingan professional. Tambahan pula kepercayaaan publik kepada kaum profesional sebagian besar tergantung kepada kemampuan pada kaum profesi tertentu menunjukkan keprofesionalannya. Profesional harus kuat teguh berdiri di atas landasan dan berjalan dalam koridor pertanggungjawaban yang dituntut oleh profesionalitasnya, tidak kurang dan tidak lebih.
B.      KEPENTINGAN UMUM (PUBLIK)
Setiap anggota berkewajiban untuk senantiasa bertindak dalam kerangka pelayanan kepada publik, menghormati kepercayaan publik, dan menunjukan komitmen atas profesionalisme. Satu ciri utama dari suatu profesi adalah penerimaan tanggung jawab kepada publik. Profesi akuntan memegang peran yang penting di masyarakat, dimana publik dari profesi akuntan yang terdiri dari klien, pemberi kredit, pemerintah, pemberi kerja, pegawai, investor, dunia bisnis dan keuangan, dan pihak lainnya bergantung kepada obyektivitas dan integritas akuntan dalam memelihara berjalannya fungsi bisnis secara tertib. Ketergantungan ini menimbulkan tanggung jawab akuntan terhadap kepentingan publik. Kepentingan publik didefinisikan sebagai kepentingan masyarakat dan institusi yang dilayani anggota secara keseluruhan. Ketergantungan ini menyebabkan sikap dan tingkah laku akuntan dalam menyediakan jasanya mempengaruhi kesejahteraan ekonomi masyarakat dan negara. Kepentingan utama profesi akuntan adalah untuk membuat pemakai jasa akuntan paham bahwa jasa akuntan dilakukan dengan tingkat prestasi tertinggi sesuai dengan persyaratan etika yang diperlukan untuk mencapai tingkat prestasi tersebut. Dan semua anggota mengikat dirinya untuk menghormati kepercayaan publik. Atas kepercayaan yang diberikan publik kepadanya, anggota harus secara terus menerus menunjukkan dedikasi mereka untuk mencapai profesionalisme yang tinggi. Untuk memelihara dan meningkatkan kepercayaan publik, setiap anggota harus memenuhi tanggung jawab profesionalnya dengan integritas setinggi mungkin.
1.      Integritas
Integritas adalah suatu elemen karakter yang mendasari timbulnya pengakuan profesional. Integritas merupakan kualitas yang melandasi kepercayaan publik dan merupakan patokan (benchmark) bagi anggota dalam menguji keputusan yang diambilnya. Integritas mengharuskan seorang anggota untuk, antara lain, bersikap jujur dan berterus terang tanpa harus mengorbankan rahasia penerima jasa. Pelayanan dan kepercayaan publik tidak boleh dikalahkan oleh keuntungan pribadi. Integritas dapat menerima kesalahan yang tidak disengaja dan perbedaan pendapat yang jujur, tetapi tidak menerima kecurangan atau peniadaan prinsip.
2.      Obyektivitas
Setiap anggota harus menjaga obyektivitasnya dan bebas dari benturan kepentingan dalam pemenuhan kewajiban profesionalnya. Obyektivitasnya adalah suatu kualitas yang memberikan nilai atas jasa yang diberikan anggota. Prinsip obyektivitas mengharuskan anggota bersikap adil, tidak memihak, jujur secara intelektual, tidak berprasangka atau bias, serta bebas dari benturan kepentingan atau dibawah pengaruh pihak lain. Anggota bekerja dalam berbagai kapasitas yang berbeda dan harus menunjukkan obyektivitas mereka dalam berbagai situasi. Anggota dalam praktek publik memberikan jasa atestasi, perpajakan, serta konsultasi manajemen. Anggota yang lain menyiapkan laporan keuangan sebagai seorang bawahan, melakukan jasa audit internal dan bekerja dalam kapasitas keuangan dan manajemennya di industri, pendidikan, dan pemerintah. Mereka juga mendidik dan melatih orang orang yang ingin masuk kedalam profesi. Apapun jasa dan kapasitasnya, anggota harus melindungi integritas pekerjaannya dan memelihara obyektivitas.
3.      Kompetensi dan Kehati-hatian Profesional
Setiap anggota harus melaksanakan jasa profesionalnya dengan berhati-hati, kompetensi dan ketekunan, serta mempunyai kewajiban untuk mempertahankan pengetahuan dan ketrampilan profesional pada tingkat yang diperlukan untuk memastikan bahwa klien atau pemberi kerja memperoleh manfaat dari jasa profesional dan teknik yang paling mutakhir. Hal ini mengandung arti bahwa anggota mempunyai kewajiban untuk melaksanakan jasa profesional dengan sebaik-baiknya sesuai dengan kemampuannya, demi kepentingan pengguna jasa dan konsisten dengan tanggung jawab profesi kepada publik. Kompetensi diperoleh melalui pendidikan dan pengalaman. Anggota seharusnya tidak menggambarkan dirinya memiliki keahlian atau pengalaman yang tidak mereka miliki. Kompetensi menunjukkan terdapatnya pencapaian dan pemeliharaan suatu tingkat pemahaman dan pengetahuan yang memungkinkan seorang anggota untuk memberikan jasa dengan kemudahan dan kecerdikan. Dalam hal penugasan profesional melebihi kompetensi anggota atau perusahaan, anggota wajib melakukan konsultasi atau menyerahkan klien kepada pihak lain yang lebih kompeten. Setiap anggota bertanggung jawab untuk menentukan kompetensi masing masing atau menilai apakah pendidikan, pedoman dan pertimbangan yang diperlukan memadai untuk bertanggung jawab yang harus dipenuhinya.
4.      Kerahasiaan
Setiap anggota harus menghormati kerahasiaan informasi yang diperoleh selama melakukan jasa profesional dan tidak boleh memakai atau mengungkapkan informasi tersebut tanpa persetujuan, kecuali bila ada hak atau kewajiban profesional atau hukum untuk mengungkapkannya. Kepentingan umum dan profesi menuntut bahwa standar profesi yang berhubungan dengan kerahasiaan didefinisikan bahwa terdapat panduan mengenai sifat sifat dan luas kewajiban kerahasiaan serta mengenai berbagai keadaan di mana informasi yang diperoleh selama melakukan jasa profesional dapat atau perlu diungkapkan. Anggota mempunyai kewajiban untuk menghormati kerahasiaan informasi tentang klien atau pemberi kerja yang diperoleh melalui jasa profesional yang diberikannya. Kewajiban kerahasiaan berlanjut bahkan setelah hubungan antar anggota dan klien atau pemberi jasa berakhir.
5.      Perilaku Profesional
Setiap anggota harus berperilaku yang konsisten dengan reputasi profesi yang baik dan menjauhi tindakan yang dapat mendiskreditkan profesi. Kewajiban untuk menjauhi tingkah laku yang dapat mendiskreditkan profesi harus dipenuhi oleh anggota sebagai perwujudan tanggung jawabnya kepada penerima jasa, pihak ketiga, anggota yang lain, staf, pemberi kerja dan masyarakat umum.
6.      Standar Teknis
Setiap anggota harus melaksanakan jasa profesionalnya sesuai dengan standar teknis dan standar profesional yang relevan. Sesuai dengan keahliannya dan dengan berhati-hati, anggota mempunyai kewajiban untuk melaksanakan penugasan dari penerima jasa selama penugasan tersebut sejalan dengan prinsip integritas dan obyektivitas. Standar teknis dan standar professional yang harus ditaati anggota adalah standar yang dikeluarkan oleh Ikatan Akuntan Indonesia. Internasional Federation of Accountants, badan pengatur, dan pengaturan perundang-undangan yang releva

C.      HUBUNGAN PROFESIONAL DAN PUBLIK
Koehn (2000:179) menyatakan bahwa syarat-syarat hubungan yang benar antara kaum professional dan masyarakat luas secara garis besar dapat di kelompokkan menjadi 3 kategori, dimana kaum professional : 1. Berhak bertindak sebagai pelaku khusus untuk kepentingan klien dan sebagai akibat di atur oleh norma-norma yang berbeda dari norma-norma umum; 2. Tidak mempunyai moral khusus dengan klien mereka tetepi terikat oleh norma-norma yang sama dan berlaku umum dalam masyarakat; dan 3. Mempunyai kewajiban moral kepada klien yang khusus tetapi telah di tetapkan sesuai dengan norma-norma moral umum yang mengikat semua anggota masyarakat.
Menurut pandangan pertama, kaum professional menjadi pelayan kebaikan masyarakat yang paling etis dan paling baik bila dengan semangat mereka memperjuangkan kepentingan klien sebagai individu yang menjadi bagian dari suatu masyarakat. Lain hal nya dengan pandangan kedua dimana kaum professional tidak wajib menjaga kesetiaan khusus dengan klien. Filsuf Alan Goldman sebagai mana di kultif oleh Koehn (2000:182) berpendirian bahwa moralitas professional seperti halnya moralitas biasa harus terdiri dari penghormatan pada hak-hak kepada semua manusia otonom dan rasional. Berbeda dengan pendirian pertama, pendirian ini secara eksplisit mengakui kaum professional mempunyai tanggung jawab terhadap anggota masyarakat dan juga kepada klien potensial. Kebaikan public mengandung penghormatan terhadap hak otonomi dan semua hak berdasarkan atasnya.
Sedangkan pendekatan ketiga seperti halnya, pendekatan pertama mengakui pentingnya kesetiaan professional kepada klien. Pandangan ini melihat profesi sebagai cara masyarakat yang dipilih dan di lembagakan untuk memberi bantuan kepada para anggota yang amat rentan. Paul Camenisch sebagai penganjur termuka dari pandangan ini sebagaimna di kutip koenh (2000:186) menyatakan bahwa kaum professional berada dibawa kewajiban khusus untuk memberi bantuan kepada mereka yang memenuhi syarat sebagai klien karena dua alasan. Peran professional di dukung oleh moralitas masyarakat tertentu yang berlaku di mana kaum professional ada. Kedua, kaum professional terikat oleh moralitas “memberi-menerima” untuk memberi bantuan kepada klien yang potensial dan actual. Tidak seperti pandangan keduan, pandangan ketiga ini kurang berfokus pada hak-hak dan lebih tanggung jawab professional.
D.     MEMBANGUN KERJA SAMA TIM
Membangun sebuah kerja sama tim yang solid merupakan hal yang wajib dan sangat penting di lakukan, karena keberhasilan sebuah proyek bergantung pada kerja sama tim yang solid. Kerja sama tim dalam sebuah proyek bukan hanya di bangun pada satu devisi saja tetapi harus di bangun antar sesame devisi yang saling berkoloborasi sehingga sebuah kegiatan operasional dapat di lakukan dengan baik menyikapinya.
Menurut Purnami (2014:93), tim kerja (Work Team) adalah kelompok yang usaha-usaha individualnya menghasilkan kinerja lebih tinggi daripada jumlah masukan individual. Tim kerja menghasilkan sinergi positif melalui usaha yang terkoordinasi, sedangkan kelompok kerja ( work group ) adalah kelompok yang berinteraksi terutama untuk berbagi informasi dan membuat berbagai keputusan untuk membantu setiap anggota bekerja di dalam area tanggung jawabnya.
Membangun tim kerja yang hebat menurut kecerdasan emosional (EQ) dari masing-masing anggotanya. Dengan demikian kepiawanan dan bakat teknis saja belum cukup untuk menjadikan anggota tim kerja yang hebat. Sering kali anggota yang mempunyai kecerdasan  intelektual (IQ) tinggi menghasilkan sebagian besar waktu untuk berusaha menang sendiri dan sibuk berdebat antara anggota yang tidak ada akhirnya.
Kecapan-kecakapan emosi yang membuat tim kerja yang hebat di antaranya (purnami, 2014:96).
1.      Empati, yaitu pemahaman antar pribadi
2.      Kerja sama dan usaha yang terpadu
3.      Komunikasi terbuka, menjabarkan norma-norma dan harapan-harapan secara eksplisit dan dengan tegas menghadapi dengan anggota tim  yang berkinerja rendah.
4.      Mendorong untuk memperbaiki diri, sehingga tim bersedia memperhatikan umpan balik atas kinerja dan mau belajar untuk menjadi lebih baik
5.      Kesadaran diri dalam bentuk mengevaluasi  kekuatan dan kelemahan sendiri sebagai tim
6.      Mempunyai inisiatif dan mengambil sikap proaktif dalam memecahkan masalah.
7.      Percaya sebagai tim
8.      Luwes dalam pelaksanaan tugas bersama.
9.      Kesadaran perusahaan dalam arti bersedia memperhatikan kebutuhan kelompok-kelompok penting dalam perusahaan dan mampu bertindak efektif dan imajinatif dalam memanfaatkan tawaran perusahaan
10.  Membangun hubungan dengan tim kerja lain

E.      PENYELESAIAN MASALAH KETEKNIKAN
Menurut Holtzapple dan Reece (2011:144-145) ada beberapa jenis masalah yang sering di hadapi oleh seorang insinyur, yaitu :
1.      Masalah Penelitian (reseach problem)
2.      Malasah Pengetahuan (knowledge problem)
3.      Masalah Perbaikan (troubleshooting problem)
4.      Masalah Matematis (machematics problem)
5.      Masalah Sumber Daya (reseach problem)
6.      Masalah Sosial (social problem)
7.      Masalah Desain (design problem)

F.       MENGELOLA KONFIK
Sebelum kita masuk ke dalam persoalan utama kemudian bagaimana cara mengatasi konflik di sebuah perusahaan, alangkah baiknya jika kita mengerti dahulu seperti apa manajemen konflik tersebut. Ternyata manajemen konflik sendiri menjadi salah satu serangkaian reaksi kemudian aksi dari berbagai pelaku baik itu dari pihak luar ataupun dalam sebuah konflik. Jadi manajemen konflik sendiri bisa jadi sebuah pendekatan dengan tujuan orientasi sebuah proses untuk memperlihatkan komunikasi baik dari perilaku sampai komunikasi. Nantinya beberapa pihak seperti dari luar akan memberikan informasi akurat hingga terciptanya sebuah komunikasi lebih efektif.
Jadi ada banyak definisi seputar manajemen konflik ini sehingga pada intinya adalah sebuah proses dimana banyak individu melakukan langkah-langkah untuk mengakhiri berbagai perselisihan dengan dampak besar hingga akhirnya semua masalah terpecahkan.
Ø  Cara Mengatasi Konflik Memanfaatkan Manajemen Konflik
Sudah jelas dari berbagai macam konflik internal ataupun eksternal perusahaan bisa saja diatasi menggunakan berbagai metode menarik. Maka dari itu akan kita ulas secara mendalam seperti apa cara-cara mengatasi konflik di dalam internal seperti karyawan terhadap pimpinan ataupun lainnya.
1.      Metode Rujuk
Pertama ada metode rujuk dimana dilakukan oleh pihak bersengketa kemudian bisa jadi sebuah pendekatan dan hasrat untuk kembali bekerja sama hingga menjalankan sebuah hubungan baik demi kepentingan bersama. Dari metode rujuk ini biasanya diperlukan mediasi hingga manajemen konflik bisa diterapkan dan mengurangi unsur ketegangan di beberapa pihak.
2.      Persuasi
Metode persuasi juga bisa dilakukan untuk memberi perubahan posisi dari pihak lainnya. Tujuan dari persuasi ini sangat baik yakni mengurangi kerugian yang bisa muncul dengan adanya berbagai bukti faktual hingga bisa memperlihatkan bahwa dari pendapat beberap orang akan memberikan keuntungan serta konsistensi dalam penerapan norma hingga standar keadilan yang sekarang masih berlaku.
3.      Metode Pemecahan Masalah Terpadu
Ada solusi lainnya bisa dengan mudah diterapkan untuk memberi sistem manajemen konflik lebih baik, yakni menggunakan metode pemecahan masalah terpadu. Nantinya terdapat usaha untuk menyelesaikan masalah dengan menggabungkan berbagai kebutuhan kedua belah pihak. Bahkan beberapa proses masih bisa terjadi seperti bertukar informasi, fakta, perasaan, kemudian masih memperlihatkan berbagai macam solusi untuk menimbulkan rasa saling percaya kemudian dapat menghadirkan berbagai alternatif pemecahan masalah dengan keuntungan berimbang di kedua belah pihak.
4.      Tawar Menawar
Metode tawar menawar juga masih saja jadi solusi terbaik untuk meredakan konflik internal ataupun eksternal di sebuah perusahaan. Metode tawar menawar ini akan menghadirkan penyelesaian yang nanti bisa diterima oleh kedua pihak. Bahkan dari kedua pihak tersebut akan mempertukarkan konsesi yang mana tanpa mengemukakan sebuah janji secara eksplisit.
5.      Penarikan Diri
Salah satu manajemen konflik yang sekarang kerap dilakukan adalah salah satu atau kedua pihak saling menarik diri dari hubungan. Untuk cara satu ini memang terlihat efektif jika keduanya tidak terlalu aktif berinteraksi kemudian sanggup mengerti seperti apa tugas satu sama lainnya yang masih bergantung.
6.      Pemaksaan dan Penekanan
Masih ada solusi untuk mengatasi berbagai macam konflik salah satunya penekanan dan pemaksaan. Sampai sekarang cara satu ini bisa digunakan dengan menekan pihak lain agar cepat menyerah. Akan tetapi cara satu ini bisa menggunakan bentuk ancaman ataupun bentuk intimidasi sehingga kurang efektif karena dari salah satu pihak harus bisa menyerah atau mengalah secara terpaksa.
7.      Konsultasi
Solusi lain agar sebuah konflik di dalam perusahaan bisa teratasi adalah konsultasi dimana tujuannya sendiri digunakan untuk memperbaiki hubungan antar kedua belah pihak. Tidak hanya itu karena bisa juga ditujukan untuk mengembangkan kemampuan hingga dapat menyelesaikan konflik. Dari konsultasi ini dibutuhkan seorang konsultan hingga dapat memberi solusi berupa teknik untuk meningkatkan aspek persepsi dan kesadaran seputar tingkat laku.
8.      Mediasi
Metode mediasi atau pertengahan juga masuk dalam manajemen konflik yang sangat baik untuk menjadi solusi mengurangi tingkat ketegangan di sebuah sengketa. Mediasi ini membutuhkan peran mediator yang secara langsung diundang untuk membantu memberi solusi hingga mengumpulkan fakta ditambah lagi bisa memperjelas masalah yang sedang terjadi hingga akhirnya diberikan solusi terbaik. Namun mediasi ini sepenuhnya bisa berjalan lancar tergantung dari kepiawaian seorang madiator itu sendiri.
9.      Arbitrase
Biasanya pihak ketiga juga memiliki andil untuk campur tangan dalam sebuah sengketa. Kini pihak bersengketa tidak bersedia berunding terutama dari usaha kedua pihak dalam menyelesaikan masalah. Maka dari itu dibutuhkan pihak ketiga yakni dalam metode arbitrase. Nantinya pihak ketiga akan mendengarkan keluhan dari kedua pihak hingga nantinya berfungsi sebagi hakim. Pencarian masalah menjadi titik fokus hingga cara ini tidak memberikan keuntungan kepada dua pihak bersengketa, akan tetapi mampu memberikan solusi terbaik bagi banyak pihak.
Dari solusi manajemen konflik tersebut masih diperlukan beberapa hal penting yang harus diperhatikan dalam mengatasi sebuah masalah. Berikut beberapa hal penting yang wajib Anda perhatikan di dalam mengatasi banyak konflik.
1.      Mencegah Konflik Destruktif
Berbagai pencegahan bisa dilakukan sebelum terjadi konflik destruktif dengan sifat merusak berbagai macam fasilitas ataupun terjadinya konflik berkepanjangan.
2.      Menghadirkan Komunikasi Efektif
Pastinya dari komunikasi efektif menjadi salah satu tujuan utama kenapa dilakukan upaya mediasi hingga berbagai macam metode dalam menyelsaikan konflik.
3.      Memberikan Penerapan Aturan Baku
Ketiga ada aspek penting untuk bisa menerapkan aturan baku terhadap karyawan di sebuah perusahaan baik dari sisi internal ataupun eksternalnya.
4.      Menciptakan Iklim Kerja Harmonis
Sudah jelas dari iklim kerja yang lebih harmonis jadi hal menarik dalam manajemen konflik ini. Maka dari itu tujuannya harus bisa jelas hingga bisa memberikan banyak keuntungan utamanya.
Setiap konflik dalam ruang lingkup perusahaan besar ataupun kecil harus bisa memperlihatkan banyak manfaat terbaik. Maka dari itu siapa saja yang berhasil menyelesaikan berbagai konflik di dalam perusahaan akan terus mendapatkan kinerja karyawan lebih optimal dibandingkan sebuah perusahaan yang tak pernah memperhitungkan semua aspek. Jadi bisa kita lihat bahwa semua akses dalam manajemen konflik sendiri dapat memperlihatkan banyak peluang, hingga akhirnya soerang karyawan merasakan kenyamanan bisa bekerja secara penuh. Ditambah lagi dari ruang lingkup kerja juga lebih optimal.
G.     SENI NEGOSIASI
Negosiasi terjadi untuk beberapa alasan: (1) menyetujui bagaimana cara membagi sebuah sumber yang terbatas, seperti tanah, atau properti, atau waktu; (2) menciptakan sesuatu yang baru ketika kedua belah pihak akan melakukannya dengan cara mereka sendiri, atau (3) menyelesaikan masalah atau perselisihan antara kedua belah pihak. Terkadang orang-orang gagal untuk bernegosiasi karena mereka tidak menyadari bahwa mereka berada dalam situasi negosiasi. Dengan memilih pilihan-pilihan lain daripada negosiasi, mereka mungkin gagal untuk mencapai tujuan mereka, mendapatkan apa yang mereka perlukan, atau mengatur masalah-masalah sebaik yang mereka inginkan. Orang-orang mungkin juga menyadari kebutuhan bernegosiasi, tetapi melakukannya dengan buruk karena mereka salah memahami proses dan tidak memiliki keahlian negosiasi.
Negosiasi adalah "bentuk pengambilan keputusan dua pihak atau lebih berbicara satu sama lain dalam upaya untuk menyelesaikan kepentingan perdebatan mereka" (Pruitt, 1981, hlm.xi). "Jantung negosiasi" adalah proses memberi-dan-menerima yang digunakan untuk mencapai kesepakatan. Sementara proses memberi-dan-menerima sangat penting, negosiasi merupakan proses sosial yang sangat kompleks; banyak faktor penting yang membentuk hasil negosiasi tidak terjadi selama negosiasi; mereka terjadi sebelum pihak-pihak yang ada melakukan negosiasi, atau membentuk konteks di sekitar negosiasi. Dalam beberapa bab pertama dari buku ini, kita akan menguji mengapa orang bernegosiasi, sifat dasar negosiasi sebagai alat untuk mengelola konflik, dan proses utama memberi-dan-menerima yang orang-orang coba lakukan untuk mencapai kesepakatan.
Wawasan kita menjadi negosiator diambil dari tiga sumber. Pertama adalah pengalaman kita sebagai negosiator diri kita sendiri dan banyaknya negosiasi yang terjadi sehari-hari dalam kehidupan kita sendiri dan dalam kehidupan orang di seluruh dunia. Sumber kedua adalah media—televisi, radio, koran, majalah, dan Internet—yang melaporkan negosiasi aktual setiap hari. Sumber ketiga adalah kekayaan penelitian ilmu sosial yang telah dilakukan pada beberapa aspek negosiasi. Penelitian ini telah dilakukan selama lebih dari 50 tahun di bidang ekonomi, psikologi, ilmu politik, komunikasi, hubungan perburuhan, hukum, sosiologi, dan antropologi. Setiap disiplin mendekati negosiasi dengan cara berbeda. Seperti perumpamaan tentang orang buta yang berusaha mendeskripsikan gajah dengan menyentuh dan merasakan bagian-bagian yang berbeda dari hewan tersebut, masing-masing disiplin ilmu sosial memiliki teori sendiri dan metode untuk mempelajari unsur-unsur negosiasi, dan masing-masing cenderung menekankan beberapa bagian dan mengabaikan yang lain. Dengan demikian, peristiwa dan hasil yang sama dari negosiasi dapat diperiksa secara bersamaan dari beberapa perspektif yang berbeda.' Ketika berdiri sendiri, masing-masing perspektif menjadi terbatas; dengan dikombinasikan, kita mulai memahami dinamika yang kaya dan kompleks dari hewan yang menakjubkan ini. Kita menarik gambaran dari semua tradisi penelitian dalam pendekatan kita terhadap negosiasi.
a.      Karekteristik Situasi Negosiasi
Seperti yang kita didefinisikan sebelumnya, negosiasi adalah proses dua atau lebih pihak berusaha untuk menyelesaikan kepentingan mereka yang bertentangan. Jadi, negosiasi adalah salah satu dari beberapa mekanisme ketika orang dapat menyelesaikan konflik. Situasi negosiasi pada dasarnya memiliki karekteristik yang sama, apakah negosiasi perdamaian antara negara-negara perang, negosiasi bisnis antara pembeli dan penjual atau buruh dan manajemen, atau tamu yang marah mencoba untuk mengetahui bagaimana mendapatkan air panas untuk mandi sebelum wawancara penting. Mereka yang telah menulis secara ekstensif tentang negosiasi berpendapat bahwa terdapat beberapa karekteristik umum untuk semua situasi negosiasi (Lewicky, 1992):
Ø  Terdapat dua atau lebih pihak—yaitu, dua atau lebih individu, kelompok, atau organisasi. Meskipun orang dapat "bernegosiasi" dengan diri mereka sendiri—seperti ketika seseorang berdebat apakah akan menghabiskan Sabtu sore dengan belajar, bermain tenis, atau pergi ke pertandingan sepak bola—kita menganggap negosiasi sebagai proses antara individu, dalam kelompok, dan antara kelompok-kelompok.
Ø  Terdapat konflik kebutuhan dan keinginan antara dua pihak atau lebih—yaitu, apa yang diinginkan adalah tidak selalu menjadi keinginan orang lain—dan para pihak harus mencari cara untuk menyelesaikan konflik.
Ø  Para pihak bernegosiasi dengan pilihan! Artinya, mereka bernegosiasi karena mereka berpikir mereka dapat mendapatkan kesepakatan yang lebih baik dengan melakukan negosiasi daripada sekadar menerima apakah sisi lain secara sukarela akan memberikan mereka atau membiarkan mereka miliki. Negosiasi sebagian besar proses sukarela. Kita bernegosiasi karena kita berpikir kita dapat meningkatkan pengeluaran atau hasil, dibandingkan dengantidak bernegosiasi atau secara sederhana menerima apa yang pihak lain tawarkan. Ini adalah strategi yang dilakukan dengan pilihan; jarang kita diminta untuk bernegosiasi. Ada saat untuk bernegosiasi dan saat untuk tidak bernegosiasi. Pengalaman kita adalah bahwa sebagian besar individu dalam budaya Barat tidak bernegosiasi cukup—yaitu, kita asumsikan harga atau situasi tidak dapat dinegosiasikan dan tidak perlu bertanya atau membuat tawaran kembali.
Ø  Ketika kita bernegosiasi, kita mengharapkan proses "memberi dan menerima" yang mendasar untuk definisi sendiri. Kita berharap bahwa kedua belah pihak akan memodifikasi atau mengubah pernyataan awal mereka, permintaan, atau tuntutan. Meskipun mungkin pada awalnya kedua belah pihak berpendapat keras untuk apa yang mereka inginkan—masing­masing mendorong pihak lain untuk melakukan langkah pertama—pada akhirnya kedua belah pihak akan mengubah posisi awal mereka dengan tujuan untuk mencapai kesepakatan. Gerakan ini mungkin menuju ke posisi "tengah" mereka, yang disebut kompromi. Negosiasi yang benar-benar kreatif mungkin tidak memerlukan kompromi, bagaimanapun juga; sebaliknya pihak-pihak dapat menciptakan solusi yang memenuhi tujuan semua pihak. Tentu saja jika para pihak TIDAK menganggapnya negosiasi, maka mereka tidak perlu berharap untuk mengubah posisi mereka dan terlibat dalam kegiatan memberi dan menerima
Para pihak lebih suka bernegosiasi dan mencari kesepakatan daripada melawan secara terbuka, satu sisi mendominasi dan sisi lain menyerah, memutuskan kontak secara tetap, atau membawa perselisihan mereka pada otoritas yang lebih tinggi untuk mengatasinya. Negosiasi terjadi ketika pihak-pihak lebih memilih untuk menciptakan solusi mereka sendiri demi menyelesaikan konflik, ketika tidak ada seperangkat aturan atau prosedur yang tetap atau dibuat untuk menyelesaikan konflik, atau ketika mereka memilih untuk  mengabaikan aturan aturan tersebut. Organisasi dan sistem menciptakan kebijakan dan prosedur untuk mengatasi dan mengelola prosedur tersebut.
Negosiasi yang berhasil melibatkan manajemen faktor kasat mata (misalnya, harga atau ketentuan perjanjian) dan juga resolusi faktor tak kasat mata. Faktor tak kasat mata adalah dasar motivasi psikologis yang mungkin memengaruhi pihak-pihak selama negosiasi, baik secara langsung ataupun tidak langsung. Beberapa contoh faktor tak kasat mata adalah (a) kebutuhan untuk "menang," mengalahkan pihak lain, atau mencegah kehilangan pada pihak lain (b) kebutuhan untuk terlihat "baik," "kompeten," atau "kuat" untuk orang-orang yang Anda wakili; (c) kebutuhan untuk mempertahankan prinsip penting atau contoh dalam negosiasi, dan (d) kebutuhan untuk tampil "adil," atau "terhormat" atau untuk melindungi reputasi seseorang, atau (e) kebutuhan untuk mempertahankan hubungan yang baik dengan pihak lain setelah negosiasi selesai, terutama dengan menjaga kepercayaan dan mengurangi ketidakpastian (Saorin-Iborra, 2006).[3] Faktor tak kasat mata sering berakar pada nilai­nilai pribadi dan emosi. Faktor tak kasat mata dapat memiliki pengaruh besar pada proses negosiasi dan basil; hampir tidak mungkin untuk mengabaikannya karena hal-hal tersebut memengaruhi penilaian kita tentang apa yang adil, atau benar, atau yang sesuai dalam resolusi faktor kasat mata.

b.      Saling Ketergantungan
Salah satu karekteristik kunci dari situasi negosiasi adalah bahwa pihak-pihak saling membutuhkan untuk mencapai tujuan atau hasil yang mereka inginkan. Artinya, mereka harus saling berkoordinasi untuk mencapai tujuan mereka sendiri, atau mereka memilih untuk bekerja sama karena hasil yang mungkin dicapai akan lebih baik daripada mereka bekerja sendiri.
Kebanyakan hubungan antara pihak dapat dicirikan dalam salah satu dari tiga cara: mandiri, tergantung, atau saling tergantung. Pihak yang mandiri dapat memenuhi kebutuhan mereka sendiri tanpa bantuan dan dukungan dari orang lain; mereka dapat relatif terpisah, acuh tak acuh, dan tidak terlibat dengan orang lain. Pihak yang tergantung harus mengandalkan orang lain untuk apa yang mereka butuhkan; karena mereka memerlukan bantuan, kebajikan, atau kerja sama yang lain, pihak yang tergantung harus menerima dan mengakomodasi keinginan penyedia dan keistimewaan tersebut. Sebagai contoh, jika seorang karyawan benar-benar tergantung pada atasan untuk pekerjaan dan gaji, karyawan akan dengan baik melakukan pekerjaan seperti yang diperintahkan dan menerima gaji yang ditawarkan, atau pergi tanpa pekerjaan. Pihak yang saling tergantung, bagaimanapun, adalah ditandai oleh tujuan—pihak saling membutuhkan satu sama lain untuk mencapai tujuan mereka. Misalnya, dalam sebuah tim yang ingin menjalankan program kerja, tidak ada satu orang pun dapat menyelesaikan program kerja yang kompleks sendiri; batas waktu biasanya terlalu pendek, dan tidak ada individu memiliki semua keterampilan atau pengetahuan untuk menyelesaikannya. Bagi kelompok tersebut, untuk mencapai tujuannya, setiap orang perlu bergantung pada anggota tim lainnya untuk menyumbangkan waktu, pengetahuan, dan sumber daya serta untuk menyelaraskan upaya mereka.
Struktur saling ketergantungan membentuk strategi dan taktik yang melibatkan negosiator. Dalam situasi distributif para negosiator termotivasi untuk memenangkan persaingan dan mengalahkan pihak lain atau untuk mendapatkan bagian terbesar dari sumber daya tetap yang mereka dapat. Untuk tujuan pencapaian ini, negosiator biasanya menggunakan strategi dan taktik menang-kalah. Pendekatan untuk negosiasi distributif—disebut tawar­-menawar distributif—menerima fakta bahwa hanya ada satu pemenang yang diberikan situasi tersebut dan mengejar tindakan untuk menjadi pemenang tersebut. Tujuan negosiasi adalah untuk mengklaim nilai—yaitu, untuk melakukan apa pun yang diperlukan untuk mengklaim hadiahatau mendapatkan potongan sebesar mungkin (Lax dan Sebenius, 1986).
Sebaliknya, dalam situasi integratif, negosiator harus menggunakan strategi dan taktik menang-menang. Pendekatan terhadap negosiasi ini—disebut negosiasi integratif­berupaya untuk mencari solusi, sehingga kedua belah pihak dapat melakukannya dengan baik dan mencapai tujuan mereka. Tujuan negosiasi adalah untuk menciptakan nilai—yaitu, untuk menemukan cara bagi semua pihak untuk memenuhi tujuan mereka, baik dengan mengidentifikasi lebih banyak sumber daya atau menemukan cara yang unik untuk berbagi dan mengoordinasikan penggunaan sumber daya yang ada antara lain:
ü  Negosiator harus mampu menyadari situasi-situasi yang membutuhkan lebih dari satu pendekatan dibandingkan yang lain: situasi-situasi yang memerlukan strategi dan taktik distributif secara dominan, dan situasi-situasi yang membutuhkan strategi dan taktik integratif. Umumnya tawar-menawar distributif sesuai saat waktu dan sumber terbatas, saat yang lain sepertinya bersaing, dan saat tidak ada kemungkinan interaksi di masa depan dengan pihak yang lain. Setiap situasi lainnya harus didekati dengan sebuah strategi integratif.
ü  Negosiator harus menjadi fleksibel dalam kenyamanan mereka dan menggunakan kedua pendekatan strategi. Negosiator tidak hanya harus mampu menyadari strategi mana yang sesuai, tetapi juga harus mampu menggunakan kedua pendekatan dengan fleksibilitas yang sama. Tidak ada cara tunggal yang "terbaik", "diinginkan", atau "benar" untuk bernegosiasi; pilihan strategi negosiasi membutuhkan adaptasi terhadap situasi,
ü  Persepsi negosiator terhadap situasi cenderung menjadi bias dalam melihat masalah­masalah menjadi lebih kompetitif/distributif dari yang sebenarnya. Secara akurat menerima sifat alami saling tergantung antarpihak penting bagi negosiasi yang sukses. Sayangnya, kebanyakan negosiator tidak menerima situasi-situasi tersebut secara akurat. Orang-orang membawa banyak hal ke dalam sebuah negosiasi: pengalaman di masa lalu, kepribadian, suasana hati, kebiasaan, dan kepercayaan tentang bagaimana bernegosiasi. Elemen-elemen ini secara dramatis membentuk cara bagaimana orang­orang menerima sebuah situasi saling tergantung, dan persepsi-persepi ini memiliki efek yang kuat terhadap negosiasi berikut.
Kecenderungan untuk para negosiator melihat dunia lebih kompetitif dan distributif dari kenyataan sebenarnya, dan untuk mengurangi proses-proses menciptakan nilai yang integratif, menyatakan bahwa banyak negosiasi memperoleh basil yang suboptimal. Di sebagian besar tingkat dasar, koordinasi yang sukses saling ketergantungan memiliki potensi untuk membawa sinergi, yang merupakan ide bahwa "keseluruhan lebih besar daripada sebagian". Terdapat sejumlah contoh sinergi. Di dunia bisnis, banyak penelitian dan kelompok pengembangan, usaha dirancang untuk membawa bersama-sama para ahli dari industri, disiplin ilmu, atau tujuan masalah yang berbeda-beda untuk meminimalkan potensial inovatif mereka melampaui apa yang setiap perusahaan dapat lakukan secara perorangan. Contohnya sejumlah teknologi baru di bidang kedokteran, komunikasi, komputer, dan semacamnya. Industri kabel serat optik dirintis oleh para ahli penelitian dari industri kaca dan para ahli dari pembuatan kabel dan sambungan listrik, kelompok industri yang memiliki percakapan atau hubungan sebelumnya yang tidak banyak. Jumlah yang luas dari peralatan medis dan teknologi telah dirintis dalam hubungan kerja antara para ahli biologi dan para insinyur. Dalam situasi ini, saling ketergantungan diciptakan antara dua pihak atau lebih, dan para penciptanya yang secara sukses menerapkan keahlian dan meningkatkan potensi untuk penciptaan nilai secara sukses.

Nilai dapat diciptakan dengan banyak cara dan proses itu terletak pada eksploitasi perbedaan-perbedaan yang ada di antara para negosiator (Lax dan Sebenius, 1986). Perbedaan kunci di antara para negosiator meliputi:
1)      Perbedaan minat. Para negosiator jarang menilai semua hal dalam negosiasi sama. Contohnya, dalam mendiskusikan sebuah paket kompensasi, perusahaan mungkin bersedia menyerah pada bonus yang besar daripada gaji karena bonus terjadi hanya di tahun pertama, sedangkan gaji adalah pendapatan tetap. Sebuah perusahaan periklanan mungkin cukup bersedia untuk menekuk pengendalian kreatif sebuah proyek, tetapi sangat melindungi pengendalian tempat iklan. Menemukan kecocokan dalam perbedaan minat sering kali menjadi kunci untuk membuka teka-teki penciptaan nilai.
2)      Perbedaan penilaian tentang masa depan. Orang-orang berbeda dalam penilaiannya terhadap yang berharga atau nilai masa depan sebuah barang. Misalnya, apakah bagian dari daerah rawa merupakan satu investasi yang bagus atau buruk terhadap pendapatan yang diperoleh dengan susah payah? Beberapa orang dapat membayangkan rumah masa depan dan kolam renang, sedangkan yang lain akan memandang ini sebagai masalah pengendalian investasi banjir. Para pembangun real estat bekerja keras untuk mengidentifikasi barang­barang di mana mereka melihat masa depan yang potensial yang gagal disadari oleh para pemilik baru.
3)      Perbedaan risiko toleransi. Orang-orang dapat menghadapi risiko dalam jumlah yang berbeda. Keluarga muda, memiliki tiga anak, dan memiliki pendapatan tunggal dapat menopang risiko yang lebih sedikit dari pasangan yang lebih dewasa, tanpa anak, dan dengan penghasilan yang berasal dari keduanya. Perusahaan dengan masalah aliran kas dapat mengambil risiko perluasan operasional yang sedikit dibandingkan dengan yang memiliki kas lebih banyak
4)      Perbedaan dalam pemilihan waktu. Negosiator berbeda dalam bagaimana waktu memengaruhi mereka. Seorang negosiator mungkin ingin merealisasikan pendapatan sekarang, sedangkan yang lain mungkin lebih suka menyimpan pendapatan untuk masa depan; seseorang membutuhkan penyelesaian yang cepat, sedangkan yang lain tidak membutuhkan perubahan apapun dalam status quo. Perbedaan dalam pemilihan waktu memiliki potensi untuk menciptakan nilai dalam sebuah negosiasi. Misalnya, seorang penjual mobil ingin membuat kesepakatan di akhir minggu agar memenuhi syarat untuk mendapatkan bonus spesial dari perusahaan, sedangkan pembeli yang potensial bermaksud untuk menjual mobilnya dalam "satu waktu di enam bulan ke depan."
Singkatnya, saat nilai sering kali diciptakan dengan mengeksploitasi kepentingan umum, perbedaan-perbedaan juga dapat muncul sebagai dasar untuk menciptakan nilai. Jantung negosiasi menelusuri kepentingan-kepentingan umum maupun yang berbeda secara individu untuk menciptakan nilai ini dan menerapkan kepentingan tersebut sebagai dasar untuk sebuah kesepakatan yang kuat dan bertahan lama. Perbedaan dapat dilihat sebagai yang dapat diatasi, namun dalam hal tersebut berfungsi sebagai hambatan. Hasilnya, negosiator juga harus belajar mengatur konflik secara efektif untuk mengatur perbedaan-perbedaan mereka saat mencari cara untuk meminimalisasikan nilai gabungan mereka.

c.       Strategi dan Taktik Tawar-menawar Distributif
Dalam situasi tawar-menawar distributif, tujuan satu pihak biasanya bertentangan langsung dengan tujuan pihak lain. Sumber daya bersifat tetap dan terbatas, dan kedua belah pihak ingin memaksimalkan bagian dari hasil yang akan diperoleh. Salah satu strategi penting adalah menjaga informasi secara hati-hati—negosiator hanya boleh memberikan informasi ke pihak lain jika informasi tersebut memberikan keuntungan strategis. Sementara itu, mendapatkan informasi dari pihak lain untuk meningkatkan kekuatan negosiasi merupakan langkah yang baik. Tawar-menawar distributif pada dasarnya adalah persaingan siapa yang akan mendapatkan sumber daya terbatas yang paling banyak, sering kali berupa uang. Kemampuan kedua belah pihak untuk mencapai tujuan mereka akan bergantung pada strategi dan taktik yang mereka gunakan (Walton dan Mckersie, 1965).
Bagi kebanyakan, strategi dan taktik tawar-menawar distributif merupakan hal terpenting dalam negosiasi. Citra yang sering muncul dalam proses negosiasi adalah ruangan yang dipenuhi asap rokok yang riuh dengan orang-orang yang mempertahankan pendapatnya. Banyak orang yang tertarik dengan pandangan negosiasi ini dan mencari cara untuk belajar dan mempertajam keahlian tawar-menawar; sebagian orang keluar dari tawar-menawar distributif dan lebih suka menjauh bukannya bernegosiasi dengan cara ini. Mereka berpendapat bahwa tawar-menawar distributif itu kuno, bersifat konfrontatif, dan destruktif.
Ada tiga alasan mengapa negosiator harus mengenal tawar-menawar distributif. Pertama, negosiator menghadapi situasi saling ketergantungan yang bersifat distributif, dan agar berhasil dalam situasi tersebut mereka perlu memahami bagaimana cara kerjanya. Kedua, karena banyak orang yang menggunakan strategi dan taktik tawar-menawar distributif secara eksklusif, semua negosiator perlu memahami bagaimana mengatasi efeknya. Ketiga, setiap negosiasi berpotensi membutuhkan keahlian tawar-menawar distributif pada saat berada pada tahap "mengklaim-nilai" (Lax dan Sebenius, 1986). Negosiasi integratif berfokus pada cara-cara untuk menciptakan nilai, tetapi juga mencakup tahap klaim, artinya nilai yang diciptakan terdistribusikan. (Negosiasi integratif dibahas secara rinci di Bab 3.) Pemahaman strategi dan taktik distributif sangat penting dan bermanfaat, namun negosiator perlu tahu bahwa taktik ini juga dapat bersifat kontraproduktif, berisiko, dan mungkin tidak akan membuahkan hasil. Taktik ini sering kali menyebabkan para pihak yang bernegosiasi terlalu berfokus pada perbedaan, bukannya kesamaan yang mereka miliki (Thompson dan Hrebec, 1996). Meski demikian, efek-efek negatif strategi dan taktik tawar-menawar distributif ini bermanfaat ketika negosiator ingin memaksimalkan nilai yang diperoleh dalam satu kesepakatan, ketika hubungan dengan pihak lain tidak penting, dan ketika mereka berada pada tahap mengklaim nilai dari negoisasi.
E.   Komitmen
Konsep kunci dalam menciptakan posisi penawaran adalah komitmen. Definisi komitmen adalah pengambilan posisi penawaran dengan beberapa perjanjian ekplisit atau implisit berdasarkan tindakan dalam kondisi yang akan datang (Walton dan McKersie, 1965, hlm. 82). Contohnya adalah agen olah raga yang berkata pada manajer umum sebuah tim olahraga profesional. "Jika kami tidak mendapatkan gaji yang kami inginkan, pemainku akan keluar tahun depan." Tindakan ini menunjukkan posisi penawaran dan janji negosiator di masa depan jika posisi tersebut tidak tercapai. Tujuan dari komitmen adalah untuk menghilangkan ambiguitas tentang tujuan tindakan negosiator. Dengan membuat komitmen, seorang negosiator menunjukkan tujuannya untuk mengambil tindakan ini, membuat keputusan ini, atau meraih sasaran ini—negosiator tersebut berkata, "Jika Anda juga mencapai target Anda, kita sepertinya akan terlibat dalam konflik langsung; salah satu dari kita akan menang, atau tidak ada satu pun dari kita akan mencapai target kita." Komitmen juga mengurangi pilihan pihak lain; mereka dirancang untuk mendesak pihak lain kepada portofolio pilihan yang dikurangi.
Sebuah komitmen sering ditafsirkan oleh pihak lain sebagai ancaman—jika pihak lain tidak menyesuaikan atau mematuhinya, beberapa konsekuensi negatif akan terjadi. Beberapa komitmen dapat merupakan ancaman, tetapi yang lainnya hanya berupa pernyataan dari tindakan yang dimaksud yang meninggalkan tanggung jawab untuk menghindari kerusakan mutual di tangan pihak lain. Bangsa yang menyatakan secara umum bahwa bangsa tersebut akan menyerang bangsa lain dan bahwa perang dapat dihindari hanya jika tidak ada bangsa lain yang mencoba menghentikan tindakan tersebut adalah bangasa yang sedang membuat komitmen tegas dan dramatis. Komitmen dapat juga melibatkan janji masa depan, seperti, "Jika kami mendapatkan kenaikan gaji, kami bersedia bila titik lain ditengahi seperti yang Anda minta."
Karena pembawaannya, komitmen adalah pernyataan yang biasanya membutuhkan respons dalam tindakan. Seorang negosiator yang menyatakan konsekuensi (misalnya, pemain akan keluar tahun depan), dan kemudian gagal mendapatkan apa yang diinginkannya dalam negosiasi, tidak akan dipercaya di waktu mendatang kecuali jika is bertindak menurut konsekuensi (misalnya, pemain tidak melapor ke tempat pelatihan). Terlebih lagi, seseorang akan kehilangan citra diri setelah tidak mengikuti komitmen yang telah dibuat di depan umum. Ketika negosiator membuat komitmen, maka, terdapat motivasi kuat untuk berpegang. Karena pihak lain kemungkinan akan memahaminya, sebuah komitmen, sekali disetujui, sering kali akan memiliki efek yang kuat terhadap apa yang dianggap mungkin oleh pihak lain (Pruitt, 1981).

1.   Pertimbangan Taktis dalam Menggunakan Komitmen
Seperti banyak alat, komitmen memiliki mata ganda. Mereka mungkin digunakan untuk meraih keuntungan yang digambarkan sebelumnya, tetapi mereka mungkin juga memperbaiki seorang negosiator ke posisi atau titik tertentu. Komitmen bertukar secara fleksibel untuk kepastian tindakan, tetapi hal tersebut menimbulkan kesulitan jika salah satu ingin pindah ke posisi yang baru. Misalnya saja, anggap setelah berkomitmen pada diri Anda sendiri terhadap sebuah tindakan, Anda menemukan informasi tambahan yang menunjukkan bahwa posisi yang berbeda diinginkan, seperti informasi yang menunjukkan bahwa perkiraan awal Anda terhadap titik perlawanan pihak lain salah dan bahwa terdapat rentang penawaran yang negatif. Bertukar posisi mungkin diinginkan atau diperlukan setelah membuat komitmen. Untuk alasan ini, ketika seseorang membuat komitmen, ia harus membuat rencana kemungkinan untuk akhir yang memuaskan. Supaya komitmen awal efektif, rencana kemungkinan harus bersifat rahasia. Misalnya, agen pemain mungkin telah merencanakan untuk segera pensiun setelah pemenuhan negosiasi yang diharapkan. Dengan memajukan masa pensiun, maka agen dapat membatalkan komitmen dan meninggalkan negosiator yang baru tanpa memberikan beban. Pembeli sebuah kondominium mungkin akan mundur dari komitmen untuk membeli dengan menemukan retakan yang tidak diketahui dalam plaster ruang tamu atau tidak mampu mendapatkan pendanaan dari bank.
Komitmen mungkin akan berguna bagi Anda sebagai seorang negosiator, tetapi Anda akan mendapatkan keuntungan untuk mencegah pihak lain dari komitmen. Lebih jauh, jika pihak lain harus mengambil posisi yang berkomitmen, maka ini merupakan keuntungan Anda untuk tetap membuka satu jalan atau lebih baginya agar dapat keluar dari komitmen.
2.   Menetapkan Komitmen
Dengan pernyataan yang kuat dan penuh semangat—beberapa di antaranya hanya gertakan­yang dibuat selama negosiasi, bagaimana seorang negosiator menetapkan bahwa sebuah pernyataan adalah untuk dipahami sebagai komitmen? Pernyataan komitmen memiliki tiga properti: keputusan tingkat tinggi, spesifikasi tingkat tinggi, dan pernyataan konsekuensi yang jelas (Walton dan McKewsie, 1965). Seorang pembeli dapat mengatakan, "Kami membutuhkan diskon volume, atau akan muncul masalah." Pernyataan ini jauh lebih lemah daripada "Kami harus mendapatkan diskon volume 10 persen dalam kontrak berikutnya, atau kami akan bekerja sama dengan pemasok alternatif bulan depan." Pernyataan yang kedua membicarakan kesimpulan (bagaimana dan kapan diskon volume harus diberikan), spesifikasi (berapa besar diskon volume yang diinginkan), dan sebuah pernyataan konsekuensi yang jelas (apa yang akan terjadi jika diskon tidak diberikan).


Tips Negosiasi Gaji
Myron Liebschutz menulis dalam the Wall Street Journal, menawarkan tips sukses berikut ketika pelamar kerja harus melakukan negosiasi gaji dengan seorang majikan yang prospektif:
·    Menunda diskusi kompensasi sampai pada akhirnya Anda ditawari pekerjaan tersebut
·    Setelah majikan menawarkan pekerjaan dan menyebutkan nilai gaji, tetaplah diam sampai sekitar 30 detik. Dengan tetap diam, Anda membuat orang tersebut untuk menyebutkan angka yang lebih tinggi atau membicarakan tleksibilitas. Kemudian negosiasi dapat dimulai.
·    Jangan segera mengomentari gaji yang ditawarkan. Sebaliknya, pastikan kembali beberapa aspek lain dalam tanggung jawab pekerjaan, dan pastikan kembali di mana dan bagaimana Anda yakin bahwa Anda akan memberi keuntungan terhadap organisasi.
·    Lalu, katakan bahwa tawaran sedikit konservatif, walaupun posisinya masih sangat menarik. Katakan Anda akan mempertimbangkannya dan membicarakannya kembali esok hari.
·    Jangan membahas keuntungan sebelum gaji. Dapatkan persetujuan gaji dahulu, lalu diskusikan keuntungan yang menyertai.
·    Berharti-hatilah terhadap negosiasi berlebihan. Meminta terlalu banyak, bahkan jika Anda mendapatkannya, mungkin akan menyebabkan Anda tidak disukai dan menjauhkan Anda dari tinjauan gaji selanjutnya.
·    Apa pun tawaran tersebut, Jangan menerimanya di tempat. Tuniukkan minat, tetapi mintalah satu hari untuk mempertimbangkannya. Pekerjaan tidak akan menjauh, dan majikan mungkin akan datang dengan penawaran yang lebih baik dengan waktu tambahan yang diberikan untuk mencapai persetujuan.
·    lika perusahaan tidak dapat memenuhi permintaan gaji tahunan Anda, carilah pilihan lain seperti bonus, libur panjang, penghargaan uang spesifik untuk pencapaian kineria. Biasanya, terdapat sedikit ruang untuk negosiasi ketika Anda melamar pekerjaan level rendah, ketika perusahaan merupakan birokrasi tinggi, atau ketika pasokan tenaga kerja melebihi permintaan. Terdapat lebih banyak kesempatan untuk bernegosiasi ketika Anda melamar posisi yang baru atau tingkat tinggi, dan ketika Anda memiliki banyak kemampuan atau unik.[4]

Pernyataan Publik Potensi pernyataan komitmen meningkat ketika semakin banyak orang yang mengetahuinya. Pernyataan organisasi olahraga tentang keluar di sebuah musim akan menimbulkan pengaruh yang berbeda jika dibuat selama siaran olahraga di televisi daripada hanya jika dibuat pada meja penawaran. Beberapa pihak dalam negosiasi telah membuat konferensi pers atau memasang iklan dalam surat kabar atau publikasi lainnya yang menyatakan apa yang mereka ingin dan apa yang akan dan tidak akan terjadi jika mereka tidak mendapatkannya. Dalam setiap situasi ini, semakin banyak orang yang mengetahuinya.
Menghubungkan dengan Basis Luar Cara lain untuk memperkuat sebuah komitmen adalah dengan menghubungkan dengan satu atau dua sekutu. Pekerja yang tidak puas dengan manajemen dapat membentuk sebuah komite untuk menunjukkan kekhawatiran mereka. Asosiasi industri dapat bergabung untuk menetapkan standar produk. Variasi proses ini terjadi ketika negosiator menciptakan kondisi yang membuat keadaan tersebut lebih sulit bagi mereka untuk mematahkan komitmen yang telah mereka buat. Misalnya, dengan mendorong penjajah yang berdedikasi untuk menetap di tepi barat dekat Jerusalem, pemerintah Israel membuatnya lebih sulit bagi Israel untuk memberikan tanah ini kepada penduduk Palestina, sebuah titik yang sejak awal ingin diperkuat oleh orang Israel.
Meningkatkan Kepentingan Permintaan Banyak hal dapat dilakukan untuk meningkatkan kepentingan pernyataan komitmen. Jika kebanyakan tawaran dan konsesi dibuat secara oral, maka mencatat pernyataan mungkin menarik perhatian terhadap komitmen tersebut. Jika pernyataan sebelumnya telah dicatat, maka menggunakan huruf dengan ukuran atau warna yang berbeda akan menarik perhatian kepada yang baru. Pengulangan adalah salah satu media yang berpengaruh untuk membuat sebuah pernyataan menjadi penting. Menggunakan saluran kornunikasi yang berbeda untuk menyampaikan sebuah komitmen membuat maksud tersebut dengan kuat—misalnya, memberitahu pihak lain mengenai sebuah komitmen; lalu menyerahkan pernyataan tertulis; lalu membacakan pernyataan; kemudian menyampaikan komitmen kepada yang lain.
Memperkuat Ancaman atau Janji Ketika membuat sebuah ancaman, terdapat bahaya dari bergerak terlalu jauh—menyatakan suatu maksud dengan sangat kuat akan membuat Anda terlihat lemah atau bodoh daripada mengancam. Pernyataan seperti "Jika saya tidak mendapatkan konsesi pada titik ini, maka Anda tidak akan ada dalam bisnis ini lagi!" sepertinya akan ditanggapi dengan jengkel atau penolakan daripada kepedulian atau kepatuhan. Lebih lanjut, pernyataan rinci yang berlebihan akan menghilangkan kredibilitas. Sebaliknya, pernyataan permintaan, kondisi, dan konsekuensi yang sederhana dan lugas bersifat lebih efektif.
Beberapa hal dapat dilakukan untuk memperkuat ancaman implisit atau eksplisit dalam sebuah komitmen. Salah satunya adalah dengan meninjau situasi serupa dan konsekuensinya; Sara lainnya adalah untuk membuat persiapan yang jelas untuk menjalani ancaman. Menghaaapi kemungkinan pemogokan, perusahaan membangun inventarisnya dan memindahkan pondok dan makanan ke dalam pabrik mereka; persatuan mengumpulkan dana pemogokan dan menyarankan pada anggotanya mengenai cara mengatasi pendapatan yang kecil jika pemogokan harus terjadi. Jalan yang lain adalah untuk menciptakan dan mengatasi ancaman kecil di waktu mendatang, sehingga membuat pihak lain meyakini
3.   Mencegah Pihak Lain dari Prematurnya Komitmen
Semua keuntungan dari posisi yang berkomitmen bekerja terhadap seorang negosiator ketika pihak lain berkomitmen, maka penting untuk mencoba mencegah pihak lain untuk berkomitmen. Orang sering mengambil posisi berkomitmen ketika mereka merasa marah atau merasa tertekan sampai batas; komitmen-komitmen ini sering tidak terencana dan dapat merugikan kedua belah pihak. Akibatnya, negosiator harus benar-benar memerhatikan sejauh mana pihak lain merasa terganggu, marah, dan kehilangan kesabaran.
Komitmen yang baik, kuat, dan tenang memakan waktu untuk dibuat, alasan-alasannya sudah dibahas. Satu cara untuk mencegah pihak lain membuat posisi berkomitmen adalah dengan menolaknya pada waktu yang diperlukan. Dalam perjanjian real estat saat pilihan hampir habis, penjual mungkin menggunakan waktu dengan bepergian atau meminta pemeriksaan perilaku dan batas-batas yang berkelanjutan, sehingga menolak waktu dari pembeli potensial untuk membuat sebuah tawaran pada saat batas waktu tiba dan pada akhirnya membiarkan pembeli lain yang bersedia membayar lebih untuk terlibat dalam negosiasi. Pendekatan lainnya untuk mencegah pihak lain mengambil posisi berkomitmen adalah dengan mengacuhkan atau mengecilkan ancaman dengan tidak mengetahui komitmen pihak lain, atau bahkan dengan membuat lelucon mengenainya. Seorang negosiator mungkin akan berkata, "Anda tidak benar-benar bermaksud demilcian," atau "Saya tahu Anda tidak benar-benar serius untuk melakukannya," atau langsung melanjutkan negosiasi seolah-olah tidak mendengar atau memahami pernyataan komitmen. Jika negosiator dapat berpura-pura tidak mendengar pernyataan pihak lain atau tidak menganggapnya signifikan, pernyataan dapat diabaikan pada titik selanjutnya tanpa menimbulkan konsekuensi yang akan terjadi jika pernyataan tersebut ditanggapi dengan serius. Walaupun negosiator yang lain masih dapat mengatasi ancaman, keyakinan bahwa ancaman tersebut dapat diatasi mungkin berkurang.
Bagaimanapun, terdapat waktu untuk negosiator memiliki keuntungan saat pihak lain berkomitmen. Ketika pihak lain mengambil sebuah posisi yang relatif awal pada sebuah isu dalam negosiasi, hal ini mungkin menjadi keuntungan besar bagi negosiator untuk memastikan posisi tersebut, sehingga tidak akan berubah saat negosiasi isu lain berkembang. Seorang negosiator mungkin mengatasi situasi ini dengan satu dari dua cara: dengan mengidentifikasi kepentingan komitmen ketika dibuat atau dengan mencatat dan menjaga jalannya pernyataan pihak lain. Seorang karyawan mungkin sangat kecewa mengenai cara untuk menangani masalah tertentu, tetapi juga mungkin akan berkata bahwa Ia tidak akan merasa kecewa untuk mengundurkan diri. Manajer dapat berfokus pada titik ini, yaitu saat keputusan dibuat atau kemudian dirujuk jika karyawan tidak juga tenang. Kedua tindakan dirancang untuk mencegah karyawan membuat keputusan yang terburu-buru saat marah, dan mungkin menciptakan periode penenangan sebelum melanjutkan diskusi.
4.   Menemukan Cara untuk Meninggalkan Posisi Berkomitmen
Negosiator sering kali ingin mengeluarkan pihak lain dari posisi berkomitmen, dan sering kali pihak tersebut juga menginginkan jalan keluar dengan cara; pertama, Rencanakan Jalan Keluar Satu metode telah dicatat: ketika membuat komitmen, negosiator harus bersama-sama merencanakan jalan keluar tersendiri. Negosiator dapat juga mengucapkan kembali sebuah komitmen untuk menunjukkan bahwa kondisi telah berubah. Terkadang informasi yang diberikan oleh pihak lain selama negosiasi dapat membuat negosiator berkata, "Dengan mempelajari apa yang saya dapat dari Anda selama diskusi ini, saya melihat bahwa saya perlu berpikir ulang mengenai posisi saya sebelumnya." Hal yang sama dapat dilakukan untuk pihak lain. Negosiator yang ingin membuat kemunglcinan agar pihak lain meninggalkan posisi berkomitmen tanpa kehilangan kredibilitas, mungkin berkata, "Dengan apa yang telah saya katakan pada Anda mengenai situasi ini [atau dengan informasi baru     saya yakin Anda akan lihat bahwa posisi Anda sebelumnya tidak lagi Anda pegang." Tidak ada gunanya mengatakan, hal terakhir yang ingin dilakukan negosiator adalah untuk mempermalukan pihak lain atau untuk membuat pernyataan yang menghakimi mengenai pertukaran posisi; sebaliknya, pihak lain harus diberi setiap kesempatan untuk mundur dengan kehormatan dan tanpa kehilangan muka. Kedua, Biarkan Mati dengan Diam-diam Cara kedua untuk meninggalkan komitmen adalah dengan membiarkan masalah mati secara perlahan. Setelah waktu berjalan, negosiator dapat membuat proposal baru mengenai komitmen tanpa menyebutkan yang sebelumnya. Variasi dari proses ini adalah untuk membuat langkah sementara dalam sebuah arah yang sebelumnya tidak termasuk dalam komitmen pihak lain. Misalnya, seorang karyawan yang telah mengatakan bahwa Ia tidak akan pernah menerima penunjukan tugas tertentu mungkin akan diminta untuk mempertilhbangkan keuntungan bagi kariernya dari penempatan "sementara" dalam pekerjaan tersebut. Dalam institusi birokrat, perubahan dapat dikenal sebagai "percobaan inovatif" untuk melihat apakah mereka bekerja sebelum diadopsi secara resmi. Jika pihak lain dalam menanggapi kedua variasi ini menunjukkan sikap diam atau komentar verbal berupa kesediaan untuk membiarkan semua bergerak dalam arah tersebut, maka negosiasi dapat langsung menuju perkembangan.

F.   Persepsi, Kognisi, dan Emosi
Persepsi, kognisi, dan emosi merupakan pembangun dasar dari semua pengalaman sosial, termasuk negosiasi, dalam hal tindakan sosial kita dipandu oleh cara kita memandang, menganalisis, dan merasa tentang pihak lain, situasi, dan minat serta posisi kita sendiri. Pengetahuan mengenai cara manusia melihat dunia di sekitarnya, mengolah informasi, dan mengalami emosi, penting untuk memahami mengapa orang bersikap seperti itu dalam negosiasi.
Persepsi psikologis berkaitan dengan proses negosiasi, dengan perhatian tertentu terhadap bentuk-bentuk distorsi persepsi yang dapat menyebakkan masalah terhadap pemahaman dan pembuatan makna untuk negosiator. Kita kemudian melihat kepada bagaimana negosiator menggunakan informasi untuk membuat keputusan mengenai taktik dan strategi—proses kognisi.
Negosiator melakukan pendekatan di setiap situasi dengan dipandu oleh persepsi mereka atas situasi masa lalu dan sikap serta sifat masa sekarang. Harapan mereka terhadap tindakan pihak lain di masa mendatang dan hasil berikutnya didasari sejumlah besar informasi yang didapatkan melalui pengalaman langsung atau observasi. Persepsi adalah proses ketika  individu terhubung dengan lingkungan mereka. Di sini, kita tertarik pada persepsi yang menghubungkan seseorang dengan lingkungan sosial, seperti pengalaman negosiasi. Banyak hal memengaruhi cara seseorang memahami dan menetapkan arti untuk pesan dan peristiwa, termasuk keadaan pikiran, peran, dan pemahaman komunikasi sebelumnya dari perseptor tersebut.' Dalam negosiasi, target adalah untuk dicapai dan diinterpretasikan dengan akurasi terhadap apa yang dikatakan dan dimaksud oleh pihak lain. Dalam melakukannya, juga tergantung pada persepsi pihak lain terhadap situasi seperti disposisi perilaku pihak lain tersebut. Kita sekarang membahas secara lebih rinci bagaimana persepsi dibuat dan bagaimana persepsi memengaruhi apa yang terjadi dalam negosiasi.
Persepsi merupakan usaha fisik dan psikologis yang rumit. Hal ini didefinisikan sebagai "proses penyaringan, pemilihan, dan penafsiran stimulan, sehingga mereka memiliki makna untuk perorangan" (Steers, 1984, hlm. 98). Persepsi adalah proses "pembuatan rasa"; orang­orang menafsirkan lingkungan mereka, sehingga mereka dapat merespons dengan tepatBiasanya, lingkungan bersifat kompleks—lingkungan tersebut mewakili sejumlah besar varietas stimulan, masing-masing dengan sifat yang berbeda, seperti besaran, warna, bentuk, tekstur, dan hal baru yang bersifat relatif. Kompleksitas ini membuat lingkungan tersebut tidak mungkin untuk mengolah semua informasi yang ada, maka sebagai perseptor kita menjadi selektif, mendengarkan beberapa stimulan saat mengabaikan yang lainnya. Persepsi selektif ini terjadi melalui sejumlah "jalan pintas" persepsi, yang mengizinkan kita untuk mengolah informasi dengan lebih siap. Sayangnya, efisiensi persepsi yang dihasilkan mungkin mengesampingkan akurasi. Selanjutnya kita beralih pada bentuk-bentuk distorsi persepsi yang relevan, terutama untuk negosiasi.

1.   Pembingkaian
Isu kunci dalam persepsi dan negosiasi adalah pembingkaian. Bingkai adalah mekanisme subjektiforang mengevaluasi dan memahami situasi, membuat mereka meraih atau menghindari tindakan lebih lanjut (Bateson, 1972; Goffman, 1974). Pembingkaian membantu menjelaskan "bagaimana para penawar memahami serangkaian kejadian yang sedang terjadi dalam informasi pengalaman masa lalu"; pembingkaian dan pembingkaian kembali, bersama dengan evaluasi terhadap informasi dan posisi, "terikat dengan pengolahan informasi, pola pesan, isyarat linguistik, dan arti-arti yang terbentuk secara sosial" (Putnam dan Holmer, 1992). Pembingkaian adalah mengenai fokus, membentuk, dan mengatur dunia di sekitar kita. Hal tersebut berhubungan dengan memahami kenyataan kompleks dan menetapkannya dalam hal yang berarti. Pembingkaian, singkatnya, mengartikan seseorang, kejadian, atau proses dan memisahkannya dari dunia kompleks di sekitarnya (Buechler, 2000).
Pembingkaian adalah konsep yang populer di antara para ahli sosial yang mempelajari proses kognitif, pembuatan keputusan, persuasi, dan komunikasi. Kepentingan dari pembingkaian pokok-pokok dari fakta bahwa dua orang atau lebih yang terlibat dalam situasi yang sama atau dalam masalah yang kompleks sering melihatnya atau mengartikannya dalam cara yang berbeda (Thompson, 1998). Misalnya, dua orang berjalan menuju sebuah ruangan yang dipenuhi orang dan melihat hal yang berbeda: satu orang (terbuka) melihatnya sebagai pesta yang hebat; yang lain (tertutup) melihatnya sebagai kerumunan yang menakutkan dan mengintimidasi. Karena orang memiliki latar belakang, pengalaman, ekspektasi, dan kebutuhan yang berbeda, mereka mengelompokkan orang, kejadian, dan proses dengan berbeda. Terlebih lagi, pembingkaian ini dapat berubah bergantung pada perspektif, atau mereka dapat berubah sepanjang waktu. Apa yang dimulai sebagai permainan tag (menandai) di antara dua anak laki-laki mungkin berubah menjadi perkelahian. Pemain belakang dalam football adalah "pahlawan" ketika dia mencetak sebuah gol, tetapi menjadi "payah" saat lemparannya ditangkap.
Pembingkaian bersifat penting dalam negosiasi karena konflik sering kali tidak jelas dan terbuka terhadap interpretasi yang berbeda sebagai akibat dari perbedaan latar belakang, perjalanan pribadi, dan pengalaman masa lalu seseorang (Roth dan Sheppard, 1995). Bingkai adalah cara dalam memberi label interpretasi situasi individu yang berbeda ini. Pakar teori manajemen awal Mary Parker Follet (1942; Kolb 1995), yang merupakan satu di antara yang menulis negosiasi integratif, mengobservasi bahwa pihak-pihak yang sampai pada kesepakatan gabungan mencapai persatuan "tidak dengan menyerah [kompromi] tetapi Vari keinginan masing-masing pihak dalam satu area visi"' (Follet, 1942). Walaupun is tidak menggunakan istilah tersebut, Follet menggambarkan bagaimana bingkai muncul dan berpusat saat pihak-pihak berbicara mengenai preferensi dan prioritas; mereka mengizinkan partai-partai tersebut untuk mulai mengembangkan definisi umum dari isu yang terkait dengan situasi dan proses untuk memecahkan isu tersebut .
2.   Jenis-jenis Bingkai
Beberapa peneliti telah mempelajari jenis-jenis bingkai yang berbeda dalam konteks yang berbeda. Melanjutkan pekerjaan pembingkaian yang panjang dalam area konflik lingkungan (Gray, 1997; Gray dan donellon, 1989; Lewicki, Gray, dan Elliot, 2003), kami menawarkan contoh-contoh bingkai berikut yang digunakan pihak-pihak dalam konflik:
1.    Subtantif—konflik yang muncul berkaitan dengan apa. Pihak-pihak yang menggunakan bingkai substantif memiliki disposisi tertentu mengenai isu kunci atau kepedulian terhadap konflik.
3.    Hasil—predisposisi pihak untuk mencapai basil spesifik atau hasil dari negosiasi. Berdasarkan tingkat bahwa seorang negosiator memiliki hasil spesifik yang ingin dicapainya, bingkai dominan mungkin akan berfokus pada semua strategi, taktik, dan komunikasi untuk mendapatkan hasil tersebut. Pihak-pihak dengan bingkai basil yang kuat yang menekankan minat diri dan menurunkan kepedulian untuk pihak lain kemungkinan besar akan sangat terlibat dalam negosiasi distributif (menang-kalah atau kalah-kalah) daripada tipe negosiasi lainnya.
4.    Aspirasi—predisposisi terhadap pemuasan minat yang luas atau kebutuhan dalam negosiasi. Daripada fokus terhadap hasil spesifik, negosiator mencoba meyakinkan bahwa minat dasar, kebutuhan, dan kekhawatirannya terpenuhi. Pihak-pihak yang memiliki bingkai aspirasi kuat kemungkinan besar sangat terlibat dalam negosiasi integratif (menang-menang) daripada tipe lainnya.
5.    Proses—bagaimana pihak-pihak bertindak untuk menyelesaikan masalah. Negosiator yang memiliki bingkai proses yang kuat kurang peduli terhadap isu negosiasi spesifik, tetapi lebih peduli terhadap bagaimana perembukan dijalani, atau bagaimana konflik harus diatur. Ketika kepedulian utama bersifat prosedural daripada substantif, bingkai proses akan sangat kuat.
6.    Identitas—bagaimana pihak-pihak mengartikan "siapa mereka." Pihak-pihak merupakan anggota dari kelompok sosial yang berbeda—jenis kelamin (pria), agama (Katolik Roma), asal etnik (Italia), tempat kelahiran (Brooklyn), tempat tinggal sekarang (London), dan semacamnya. Hanya terdapat beberapa kategori dari sekian banyak yang dapat digunakan orang untuk membentuk bingkai identitas yang mengartikan diri mereka dan membedakan mereka dari orang lain.
7.    Karakterisasi—bagaimana pihak-pihak mengartikan pihak lain. Bingkai karakterisasi dapat dibentuk dengan jelas oleh pengalaman dengan pihak lain, dengan informasi mengenai sejarah atau reputasi pihak lain, atau dengan cara bagaimana awalnya pihak lain datang dalam pengalaman negosiasi. Dalam konflik, bingkai identitas (diri) cenderung positif; bingkai karakterisasi (orang lain) cenderung negatif.
8.    Kalah-menang—bagaimana pihak-pihak mengartikan risiko atau penghargaan yang terkait dengan basil tertentu. Misalnya, seorang pembeli dalam negosiasi penjualan dapat memandang transaksi dalam kondisi kalah (biaya keuangan pembelian) atau kondisi menang (nilai barang).



Komentar

Postingan populer dari blog ini

HAK DAN KEWAJIBAN INSINYUR

ETIKA DALAM DUNIA KETEKNIKAN

PENGERTIAN PROFESI, PROFESIONAL, PROFESIONALISME DALAM DUNIA KETEKNIKAN