ETIKA DALAM DUNIA KETEKNIKAN


ETIKA DALAM DUNIA KETEKNIKAN
Dinamika dunia konstruksi di Indonesia dari zaman Orde Baru hingga sekarang tidak pernah berubah, ketika para profesional konstruksi yang bertugas pada sebuah proyek konstruksi tidak lepas dari penyimpangan atau pelanggaran, baik secara teknis maupun etika. Berbagai macam penyimpangan atau pelanggaran yang dilakukan oleh para profesional konstruksi sehingga banyak merugikan pemilik maupun pengguna proyek. Dinamika yang terjadi di lapangan saat ini, dimulai dari proyek fiktif, tidak netral dalam strudi kelayakan, penipuan data survey, kolusi dalam pelelangan, korupsi dalam proses konstruksi, mark up harga satuan, ketidaksesuaian laporan proyek dengan kondisi riil di lapangan, penipuan tenaga ahli (jumlah & spesifikasi), dan saving proyek. Hasil dari pelanggaran tersebut, adalah sebagian besar pemilik maupun pengguna hasil konstruksi merasa tidak puas dengan hasil kinerja para profesional tersebut. Pelanggaran etika profesi pada umumnya mencakup kasus utama, yaitu: Pertama, adalah per-buatan yang melanggar nilai-nilai yang seharusnya dijunjung tinggi oleh para profesional tersebut, seperti memperdagangkan atau memperjualbelikan jasa atau membeda-bedakan pelayanan jasa atas dasar keinginan untuk mendapatkan keuntungan uang yang berkelebihan atau kekuasaan. Kedua, Pelayanan jasa profesi yang kurang mencerminkan kualitas keahlian menurut standar maupun kriteria seorang profesional.
A       Etika
Pengertian etika ialah ilmu tentang apa yang baik dan apa yang buruk, etika juga merupakan ilmu tentang hak dan kewajiban moral atau akhlak. Sedangkan, profesi atau bidang pekerjaan yang dilandasi pendidikan keahlian tertentu. Sehingga pengertian etika profesi adalah suatu ilmu mengenai hak dan kewajiaban yang diladasi dengan pendidikan keahlian tertentu salahnya dalam bidang keteknikan. Bidang keteknikan merupakan suatu bidang yang berorientasi dalam menyelesaikan masalah. Sehingga pada aplikasinya etika profesi bidang keteknikan ini merupakan suatu ilmu tentang hak dan kewajiban untuk menyelesaikan masalah dalam suatu pekerjaan. Dasar ini merupakan hal yang diperlukan dalam bidang keteknikan. Sehingga tidak terjadi penyimpangan-penyimpangan yang menyebabkan ketidaksesuain dengan bidang tersebut. Profesionalisme sangat penting dalam suatu pekerjaan, bukan hanya loyalitas. Sehingga, etika profesilah yang sangat penting. Bidang keteknikan tergabung atas berbagai bidang, dimana dalam bidang pekerjaan disini akan ada banyak orang yang tergabung, tidak menutup kemungkinan terdapat teman, saudara ataupun orang yang dicinta. Sehingga ketika hendak mengambil keputusan tidak terjadi penyimpangan, oleh sebab itu etika disini sangat dibutuhkan, sehingga tidak terjadi ketidakadilan. Salah tetap salah dan benar tetap benar.
Etika sangat penting dalam menyelesaikan suatu masalah dalam bidang keteknikan, sehingga bila suatu profesi keteknikan tanpa etika akan terjadi penyimpangan-penyimpangan yang mengakibatkan terjadinya ketidakadilan. Ketidakadilan yang dirasakan oleh orang lain akan mengakibatkan kehilangan kepercayaan. Kehilangan kepercayaan berdampak sangat buruk, karena kepercayaan merupakan suatu dasar atau landasan yang dipakai dalam suatu pekerjaan
Ada dua macam etika yang harus dipahami bersama dalam menentukan baik dan buruknya pri-laku manusia, yaitu:
1.      Etika Deskriptif, yaitu etika yang berusaha meneropong secara kritis dan rasional sikap dan prilaku manusia dan apa yang dikejar oleh manusia dalam hidup ini sebagai sesuatu yang bernilai. Etika deskriptif memberikan fakta sebagai dasar untuk mengambil keputusan tentang prilaku atau sikap yang mau diambil.
2.      Etika Normatif, yaitu etika yang berusaha menetapkan berbagai sikap dan pola prilaku ideal yang seharusnya dimiliki oleh manusia dalam hidup ini sebagai sesuatu yang bernilai. Etika normatif memberi penilaian sekaligus memberi norma sebagai dasar dan kerangka tindakan yang akan diputuskan.
Sedangkan etika secara umum dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu secara umum maupun khusus, antara lain sebagai berikut:
1.      Etika Umum, berbicara mengenai kondisi-kondisi dasar bagaimana manusia bertindak secara etis, bagaimana manusia mengambil keputusan etis, teori-teori etika dan prinsip-prinsip moral dasar yang menjadi pegangan bagi manusia dalam bertindak serta tolak ukur dalam menilai baik atau buruknya suatu tindakan. Etika umum dapat di analogkan dengan ilmu pengetahuan, yang membahas mengenai pengertian umum dan teori-teori.
2.      Etika Khusus, merupakan penerapan prinsip-prinsip moral dasar dalam bidang kehidupan yang khusus. Penerapan ini bisa berwujud : Bagaimana saya mengambil keputusan dan bertindak dalam bidang kehidupan dan kegiatan khusus yang saya lakukan, yang didasari oleh cara, teori dan prinsip-prinsip moral dasar. Namun, penerapan itu dapat juga berwujud, bgaimana saya menilai perilaku diri sendiri dan orang lain dalam bidang kegiatan dan kehidupan khusus yang dilatarbelakangi oleh kondisi yang memungkinkan manusia bertindak etis. 
Selanjutnya Etika Khusus dibagi lagi menjadi dua bagian :
1.      Etika individual, yaitu menyangkut kewajiban dan sikap manusia terhadap dirinya sendiri.
2.      Etika sosial, yaitu berbicara mengenai kewajiban, sikap dan pola perilaku manusia sebagai anggota umat manusia.
Dengan demikian luasnya lingkup dari etika sosial, maka etika sosial ini terbagi menjadi banyak bagian atau bidang. Dan pembahasan bidang yang paling aktual saat ini terjadi, adalah: sikap terhadap sesama, etika keluarga, etika profesi, etika politik, etika lingkungan, dan etika idiologi.

1.      Hubungan Antara Moral dan Etika
Moral dan etika memiliki hubungan atau keterkaitan satu sama lain. Dimana setiap manusia meliki moral dan moral tersebut akan dilengkapi oleh etika. Setiap manusia wajib memiliki moral yang baik dan etika yang baik pula. Etika dan moralitas memberi petunjuk konkret tentang bagaimana manusia harus hidup secara baik sebagai manusia begitu saja, kendati petunjuk konkret itu bisa disalurkan melalui dan bersumber dari agama dan kebudayaan tertentu.
Tujuan pokok dari rumusan etika yang dituangkan dalam kode etik (Code of conduct) profesi adalah
1.      Standar‐standar etika menjelaskan dan menetapkan tanggung jawab terhadap klien, institusi, dan masyarakat pada umumnya.
2.      Standar‐standar etika membantu tenaga ahli profesi dalam menentukan apa yang harus mereka perbuat kalau mereka menghadapi dilema‐dilema etika dalam pekerjaan.
3.      Standar‐standar etika membiarkan profesi menjaga reputasi atau nama dan fungsi‐fungsi profesi dalam masyarakat melawan kelakuan‐kelakuan yang jahat dari anggota‐anggota tertentu.
4.      Standar‐standar etika mencerminkan / membayangkan pengharapan moral‐moral dari komunitas, dengan demikian standar‐standar etika menjamin bahwa para anggota profesi akan menaati kitab UU etika (kode etik) profesi dalam pelayanannya.
5.      Standar‐standar etika merupakan dasar untuk menjaga kelakuan dan integritas atau kejujuran dari tenaga ahli profesi.
6.      Perlu diketahui bahwa kode etik profesi adalah tidak sama dengan hukum (atau undang‐undang). Seorang ahli profesi yang melanggar kode etik profesi akan menerima sangsi atau denda dari induk organisasi profesinya.
2.      Hubungan Agama dan Moralitas
Agama menjelaskan dan menunjukan nilai-nilai bagi pengalaman manusia yang sangat penting. Melalui agama, kehidupan lebih dapat dipahami dan secara pribadi lebih bermakna.
Geertz menganggap bahwa etos (seperangkat moral dan motivasi) bagian dari agama. Jika agama memfokuskan kepada sesuatu yang member makna kepada seluruh kehidupan, maka obyek yang dipuja harus menjadi sesuatu nilai yang signifikan atau sesuatu tang menjadi sumber ini. Didalam pemujaan, maka nilai sentral yang dipuja itu dikagumi, dihormati dan diyakini mempunyai sifat-sifat kesempurnaan, serta diyakini mampu memberikan pertolongan dan sanksi kepada penganutnya. Nilai moral sendiri merujuk kepada nilai-nilai kemanusiaan, itu tidak serta merta berarti bahwa nilai-nilai moral yang bersumber pada agama itu dinafikan. Justru ketika dialog dilakukan, nilai-nilai agama yang dianut pasti secara tidak langsung akan melebur di sana. Orang-orang yang terlibat dalam dialog pasti akan membawa aspirasi dan nilai-nilai agama yang diimaninya. Agama dan moralitas itu tidak sama. Namun, nilai-nilai agama dan nilai-nilai kemanusiaan itu sebetulnya tetap saling mengandaikan, saling memperkuat, dan mengembangkan satu sama lain. Antara moralitas dan agama itu sama sekali tidak saling menafikan dan meniadakan satu sama lain.
Kekuatan pengaruh agama terhadap nilai dan norma dalam kehidupan sehari-hari akan bervariasi antara berbagai jenis agama dan tergantung kepada ideology  masyarakat penganut agama itu. Selain itu hubungan kode moral dengan agama juga bervariasi, tergantung kepada struktur masyarakat. Bagaimanapun semua agama tampaknya berpengaruh kepada moralitas personal maupun sosial.
Kebanyakan kajian mengenai agama dam moral dibuat atas referensi agama tertentu dimasyarakat tertentu pula. Agama sangat erat berhubungan dengan ajaran moralitas kehidupan sehari-hari. Banyak moral masyarakat terkait erat dengan kepercayaan agama.
Fungsi agama terpenting adalah memberikan dasar metafisika bagi tatanan moral kelompok sosial dan memperkuat ketaatan terhadap norma. Karena agama dalam hal ini membantu memperkuat pelaksanaan norma dan aturan itu, bila ternyata tindakan individu bertentangan dengan keinginan atau kepentingan norma tersebut.
Agama menyajikan berbagai fungsi antara lain memberikan wawasan dunia yang mengurangi kebingungan dan berusaha menafsirkan makna ketidakadilan, penderitaan dan kematian; membentuk dasar-dasar kosmik bagi nilai dan system moralitas personal maupun sosial; merupakan sumber identitas rasa keanggotaan pada suatu kelompok agama tertentu, dll. Selama ini agama selalu dikaitkan dengan moralitas. Hanya orang-orang beragama yang dianggap mampu menunjukkan sikap bermoral dan berintegritas. Semakin taat beragama, semakin bermoral lah ia. Sebaliknya semakin jauh dari agama, semakin bejat lah ia.
Moralitas adalah standar yang kita gunakan untuk menentukan baik dan buruk. Orang-orang beragama akan mengangkat tinggi-tinggi kitab suci mereka sebagai sumber moralitas tertinggi, panduan ilahi untuk menentukan baik dan buruk.Belum diketahui pasti bagaimana mekanisme moral bekerja dalam diri kita, namun manusia memang memiliki suatu alarm moral yang tertanam dalam dirinya. Saat melihat seorang nenek terjatuh dari tangga, alarm kita seketika akan berbunyi dan menyuruh kita berbuat sesuatu untuk menolongnya.
Moralitas mungkin saja diperdebatkan serta dipertentangkan. Sebagian orang akan setuju bahwa wanita yang berpakaian minim itu tidak bermoral, tapi sebagian lain mungkin tidak menyetujuinya. Beragam alasan pun dapat mengemuka. Tapi ketika agama dipaksakan sebagai sumber moralitas dalam masyarakat, perdebatan ini akan rawan untuk dihentikan secara arogan. Agama itu suci dan absolut, sehingga standar yang telah ditetapkannya tak boleh dipertanyakan apalagi digugat.
Agama bahkan dapat mengandung standar moral yang bertentangan dengan alarm moral kita sendiri. Umat Islam di Indonesia yang menolak penerapan syariat hukum rajam menunjukkan bahwa alarm moral mereka masih bekerja sehingga mampu menolak mekanisme hukuman sadis semacam itu. Kita bisa menyebut alarm itu nurani, fitrah, intuisi, atau apa pun. Dan itu merupakan cara paling alami yang kita gunakan sebagai panduan dalam menjalani hidup. Mengikutinya secara jujur akan mendatangkan kedamaian jiwa, sesederhana itu. Tak perlu disogok surga atau ditakut-takuti dengan neraka seperti standar moral yang tertuang dalam agama. Kekuatan pengaruh agama terhadap nilai dan norma dalam kehidupan sehari-hari akan bervariasi antara berbagai jenis agama dan terganmtung kepada ideology  masyarakat penganut agama itu. Selain itu hubungan kode moral dengan agama juga bervariasi, tergantung kepada struktur masyarakat. Bagaimanapun semua agama tampaknya berpengaruh kepada moralitas personal maupun sosial.

3.      Hukum dan Moral
Pada masyarakat yang masih sederhana, norma susila atau moral telah memadai untuk menciptakan ketertiban dan mengarahkan arah tingkah laku masyarakat, dan menegakkan kesejahteraan dalam masyarakat. Kesusilaan memberikan peraturan-peraturan kepada seseorang supaya menjadi manusia yang sempurna. Hasil dari perintah dan larangan yang timbul dari norma kesusilaan itu bersandar pada kebebasan pribadi seseorang. Hati nuraninya akan menyatakan perbuatan mana yang jahat serta akan menentukan apakah ia akan melakukan sesuatu perbuatan.[1][6] Akan tetapi pada masyarakat yang sudah maju kaidah adat tersebut tidak lagi mencukupi. Hal ini dilatarbelakangi oleh karena persandaran moral adalah kebebasan pribadi. Untuk mengatur segalanya diperlukan antara lain yang tidak disandarkan pada kebebasan pribadi, tetapi juga mengekang kebebasan pribadi dalam bentuk paksaan, ancaman dan sanksi. Aturan itulah yang disebut dengan hukum.[2][7]
Jika dalam kesusilaan yang dimuat adalah anjuran yang berupa pujian dan celaan, maka dalam kaidah hukum yang dimuat adalah perintah dan larangan yang diperkuat dengan ancaman, paksaan atau sanksi bagi orang yang mengabaikan. Meskipun coraknya berbeda, namun bentuk-bentuk yang dipuji dan dicela dalam kesusilaan, sehingga pada hakikatnya patokan hukum tersebut berurat pada kesusilaan.
Pembahasan tentang hubungan antara hukum dengan moral adalah salah satu topik penting dalam kajian filsafat hukum. Dalam kajian hukum Barat, antara hukum dan moral memang mempunyai kaitan erat, tetapi hukum tidak sama dengan moralitas. Hukum mengikat semua orang sebagai warga negara, tetapi moralitas hanya mengikat orang sebagai individu.[3][8] Dikatakan dalam teori pemisahan antara hukum dan moralitas bahwa hukum adalah suatu hal dan moralitas adalah hal lain, atau dengan kata lain: “hukum dan moralitas tidak selalu sisi lain dari mata uang yang sama”. Ini tidak berarti bahwa hakim atau jaksa hanya memberikan perhatian terhadap hukum dan tidak memberikan perhatian terhadap moralitas. Sebenarnya hukum yang baik berasal dari moralitas yang baik, dan moralitas yang baik melahirkan hukum yang baik pula.[4][9]
1)     Moral Sebagai Landasan Tujuan Hukum
Dalam banyak literatur dikemukakan bahwa tujuan hukum atau cita hukum tidak lain daripada keadilan. Gustav Radbruch, di antaranya menyatakan bahwa cita hukum tidak lain daripada keadilan.[5][10] Selanjutnya ia menyatakan “Est autem jus a justitia, sicut a matre sua ergo prius fuit justitia quam jus”, yang diterjemahkan: “Akan tetapi hukum berasal dari keadilan seperti lahir dari kandungan ibunya, oleh karena itu keadilan telah ada sebelum adanya hukum.” Menurut Ulpianus, Justitia est perpetua et constans voluntas jus suum cuique tribuendi, yang diterjemahkan secara bebas, keadilan adalah suatu keinginan yang terus-menerus dan tetap untuk memberikan kepada orang apa yang menjadi haknya.
Esensi keadilan berpangkal pada moral manusia yang diwujudkan dalam rasa cinta kasih dan sikap kebersamaan.[6][11] Yang pertama kali mengemukakan moral sebagai dasar aturan adalah Thomas Aquinas.[7][12] Thomas Aquinas menyatakan manusia tidak dapat mengingkari keberadaan tubuhnya. Tubuh inilah yang memicu adanya tindakan, keinginan dan hawa nafsu.
Menurut Thomas Aquinas, manusia melalui kekuatan kemauan dan pikiran yang dimilikinya dapat melepaskan diri dari kendali-kendali tersebut. Daya intelektual manusia dapat memberikan peringkat terhadap makna mengenai apa yang dimiliki manusia. Kekayaan, kesenangan, kekuasaan, dan pengetahuan merupakan objek keinginan yang dapat dimiliki oleh manusia. Akan tetapi semua itu tidak dapat menghasilkan kebahagian manusia yang terdalam. Hal-hal itu tidak memiliki karakter kebaikan yang bersifat universal yang dicari oleh manusia. Aquianas percaya bahwa kebaikan yang universal itu tidak dapat diketemukan pada ciptaan, melainkan pada Allah Sang Pencipta.[8][13]
Menurut Thomas Aquianas, hukum terutama berkaitan dengan kewajiban yang diletakkan oleh nalar. Hukum meliputi kekuasaan, dan kekuasaan inilah yang memberikan kewajiban. Akan tetapi di belakang kekuasaan inilah berdiri nalar. Penguasa melalui hukum positif dapat memberi perintah yang bukan-bukan atau memaksa orang melakukan perbuatan yang tidak benar, tetapi hukum positif  tersebut bekerja tidak sesuai dengan hakikat alamiah hukum. Hukum alam ditentukan oleh nalar manusia. Mengingat Allah menciptakan segala sesuatu, hakikat alamiah manusia dan hukum alam paling tepat dipahami sebagai produk kebijaksanaan atau pikiran Allah.
Sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh Thomas Aquinas adalah pandangan Lon L. Fuller. Oleh Fuller dikatakan bahwa masalah moralitas merupakan bagian dari hukum alam.[9][14] Hanya saja aturan-aturan itu tetap membumi. Memang kata moral sering dikaitkan dengan keadaan batin seseorang, seperti budi pekerta luhur, keramahtamahan, atau ketaatan dalam menjalankan kewajiban agama dan semu sikap yang mempunyai kemaslahatan semua orang dan diri sendiri. Tidak berzina, tidak suka memfitnah, tidak berkata-kata dusta, suka memberi, bermurah hati dan suka menolong dalam kesesakan adalah tindakan-tindakan moral. Akan tetapi sikap semacam itu adalah ideal. Hukum tidak mampu menjangkau hal-hal semacam itu. Hukum bukan suatu lembaga untuk membuat seseorang menjadi bersifat malaikat. Namun hukum dapat menjaga kehidupan masyarakat dari gangguan tindakan manusia yang berhati setan.[10][15] Hukum diciptakan untuk menjaga fungsi eksistensial kehidupan bermasyarakat dari tindakan manusia atau sekelompok manusia lain yang berusaha merusak eksistensi itu. Oleh karena itulah moral dalam hal ini merupakan sesuatu yang bersifat operasional.
2)     Hukum Bersatu dengan Moral
Prof. Dr. Hazairin dalam buku Demokrasi Pancasila menyatakan bahwa hukum tanpa moral adalah kezaliman. Moral tanpa hukum adalah anarki dan utopia yang menjurus kepada peri-kebinatangan. Hanya hukum yang dipeluk oleh kesusilaan dan berakar pada kesusilaan yang dapat mendirikan kesusilaan.[11][16] Lebih lanjut Dr. Muslehuddin menerangkan bahwa hukum tanpa keadilan dan moralitas bukanlah hukum dan tidak bisa bertahan lama. Sistem hukum yang tidak memiliki akar substansial pada keadilan dan moralitas pada akhirnya akan terpental.[12][17] Menurut Prof. Dr. H. M. Rasjidi, hukum dan moral harus berdampingan, karena moral adalah pokok dari hukum.[13][18] Menurut Kant, hukum moral adalah hukum dalam arti sebenarnya. Menurut Friedmann, tidak ada dan tidak pernah ada pemisahan total hukum dari moralitas. Oleh karenanya hukum yang dipisahkan dari keadilan dan moralitas bukanlah hukum.[14][19]

3)     Perbedaan Serta Hubungan Hukum dan Moral
Pada umumnya, perbedaan dan hubungan antara hukum dan moral dapat dijelaskan sebagai berikut:[15][20]
o   Hukum membutuhkan moral. Quid leges sine moribus? (Apa artinya UU tanpa moralitas?). Kualitas hukum juga diukur dari mutu moralnya. Sebaliknya, moral juga membutuhkan hukum[16][21], agar “semakin terwujud secara lebih pasti dalam perilaku konkret”. Menghormati hak milik orang lain misalnya, adalah sebuah prinsip moral. Prinsip ini diperkuat dalam hukum yang melindungi hak milik.
o   Hukum itu lebih dikodifikasikan dan dengan demikian lebih pasti dan objektif daripada moralitas yang tidak tertulis.
o   Hukum mengatur perbuatan lahiriah (legalitas), sementara moral lebih menyangkut sikap batin manusia.
o   Moralitas adalah “isi minimum dari hukum”. Hukum dan moralitas hanya berbeda dari sisi formal, tetapi tidak ada perbedaan mendasar dari segi substansi. Baik norma hukum maupun norma moral, kedua sama-sama mengatur perilaku manusia.[17][22]
o   Sanksi yang berkaitan dengan hukum berbeda dengan sanksi yang berkaitan dengan moralitas. Hukum untuk sebagian besar dapat dipaksakan, pelanggar akan terkena hukuman. Tapi norma etis tidak bisa dipaksakan, sebab paksaan hanya menyentuh bagian luar, sedangkan perbuatan etis justru berasal dari dalam. Satu-satunya sanksi di bidang moralitas hanya hati yang tidak tenang.
o   Tujuan hukum mengatur kehidupan manusia dalam kehidupan bernegara, sedangkan moral mengatur kehidupan manusia sebagai manusia.
o   Immanuel Kant berpendapat bahwa hukum termasuk dalam tatanan normatif lahiriah manusia, di luar motivasi batin. Moralitas hanya berkaitan dengan suara hati atau sikap batin manusia. Hukum mengikat secara moral kalau diyakini dalam hati.
Uraian Kant ini dapat dilengkapi dengan uraian A. Reinach (1883-1917) sebagai berikut:[18][23]
o   Norma moral mengenai suara hati pribadi manusia, norma yuridis berlaku atas dasar suatu perjanjian.
o   Hak-hak moral tidak pernah hilang dan tidak dapat pindah kepada orang lain, sedangkan hak yuridis dapat hilang dan berpindah (sesuai dengan perjanjian).
o   Norma moral mengatur baik batin maupun hidup lahir, sedangkan norma hukum hanya mengatur kehidupan lahiriah saja (de internis praetor non iudicat).























Komentar

Postingan populer dari blog ini

HAK DAN KEWAJIBAN INSINYUR

PENGERTIAN PROFESI, PROFESIONAL, PROFESIONALISME DALAM DUNIA KETEKNIKAN