ETIKA KEILMUAN

Salah tafsir mengenai ilmu dan kecurigaan terhadap ilmuwan biasanya bersumber pada pembahasan, yang kurang memperhatikan landasan-landasan ontologis, epistemologis dan aksiologis secara spesifik. Ilmu berupaya mengungkapkan realitas sebagaimana adanya (das sein), sedang moral pada dasarnya adalah petunjuk-petunjuk tentang apa yang seharusnya dilakukan manusia (das sollen). Hasil-hasil kegiatan keilmuan memberikan alternatif-alternatif untuk membuat keputusan politik dengan berkiblat kepada pertimbangan-pertimbangan moral ethis. Ilmuwan mempunyai tanggung jawab professional, khususnya didunia ilmu dan dalam masyarakat ilmuwan itu sendiri dan mengenai metodologi yang dipakainya. Ia juga memikul tanggung jawab social, yang bisa dibedakan atas tanggung jawab legal yang formal sifatnya; dan tangggung jawab moral yang lebih luas cakupannya (Depdikbud, 1984)

A.      Pengertian Etika
Etika berasal dari bahasa Yunani ethos, yang berarti tempat tinggal yang biasa, padang rumpt, kandang; kebiasaan, adat; watak; perasaan, sikap, cara berpikir. dalam bentuk jamak ta etha artinya adat kebiasaan. Dalam arti terakhir inilah terbentuknya istilah etika yang oleh Aristoteles dipakai untuk menunjukkan filsafat moral. Etika berarti: ilmu tentang apa yang biasa dilakukan atau ilmu tentang adat kebiasaan. Ada juga kata moral dari bahasa Latin yang artinya sama dengan etika.
Secara istilah etika memunyai tiga arti: pertama, nilai-nilai dan norma-norma moral yang menjadi pegangan bagi seseorang atau suatu kelompok dalam mengatur tingkah lakunya. Arti ini bisa disebut sistem nilai. Misalnya etika Protestan, etika Islam, etika suku Indoan. Kedua, etika berarti kumpulan asas atau nilai moral (kode etik). Misalnya kode etik kedokteran, kode etik peneliti, dll. Ketiga, etika berati ilmu tentang yang baik atau buruk. Etika menjadi ilmu bila kemungkinan-kemungkinan etis menjadi bahan refleksi bagi suau penelitian sistematis dan metodis. Di sini sama artinya dengan filsafat moral.
Makna etika dapat dikelompokkan menjadi kumpulan nilai dan moral untuk berpikir dan bertindak seorang ilmuwan. Istilah kunci dari bahasa etika adalah sekumpulan nilai, hak, kewajiban, peraturan dan hubungannya. Ilmu sebagia aktifitas dan metode ilmiah juga memiliki etika yang harus dijunjung tinggi, sehingga menghasilkan ilmu mengetahuan yang obyektif (Supriyanto, 2013).
Moral, diartikan sebagai etika (akhlak).  Sejak sekitar abad ke 5 sebelum masehi sudah banyak dibicarakan secara mendalam, didiskusikan dan dianalisa dikalangan para pemikir yang memfokuskan diri pada falsafah hidup dan perilaku manusia.
Dari seluruh pemikiran selama berabad abad mengenai etika dan moral barangkali bisa disimpulkan secara sederhana walau jauh dari sempurna; bahwa  etika dan moral  ini erat hubungannya dengan perilaku manusia yang tulus keluar dari batin sanubari dalam tiap pemikiran, perkataan, perbuatan (tindakan) nyata dalam koridor yang pasti untuk tidak menyakiti baik lahir mapun batin, menindas, menyinggung, meremehkan, melecehkan, merendahkan dan menghilangkan hak pribadi serta menginjak martabat pihak lain secara terbuka maupun tersembunyi dimana dia berada atau dalam jangkauannya serta mutu akhlaknya bisa diterima sebagian besar umat manusia”.
Karenanya moral selalu berhubungan dengan cara berpikir manusia yang dicetuskan dalam perilaku nyata dan bisa dinilai oleh pihak sesamanya baik melalui cara mendengar, melihat, merasa (diolah dalam pikiran dan hati sanubari), dibuktikan dan terlihat dengan jelas segala perbuatan dan tindakannya yang sesuai antara kata dan perbuatan.
Moral yang berkembang seiring dengan peradaban manusia, mencoba mengajarkan agar manusia mengetahui hal yang baik dan buruk yang berhubungan dengan nilai-nilai yang terdapat dalam ajaran agamanya. Kata moral mengacu pada baik-buruknya manusia sebagai manusia. Bidang moral adalah bidang kehidupan manusia dilihat dari segi kebaikannya sebagai manusia. Norma-norma moral adalah tolok ukur untuk menentukan betul-salahnya sikap dan tindakan manusia dilihat dari segi baik-buruknya sebagai manusia dan bukan sebagai pelaku peran tertentu dan terbatas Sejatinya, peranan moral dalam menghadapi perkembangan ilmu seperti diuraikan di atas sangat dipengaruhi bagaimana pandangan manusia melihat ilmu itu sendiri yang secara terus menerus dikembangkan oleh manusia.
Penilaian moral diukur dari sikap manusia sebagai pelakunya, timbul pula perbedaan penafsiran. Penggunaan bom atom, misalnya dianggap tidak etis karena menghancurkan kehidupan umat manusia. Meski demikian, bagi pelaku yang bersangkutan dengan menggunakan bom atom, hal ini dimaksudkan untuk menyelamatkan kelompok umat manusia. Misalnya, dengan penggunaan bom atom, maka suatu negara dapat membenarkan atas nama melindungi warga negaranya dalam keadaan perang. Pembenaran, dengan demikian, selalu bisa dimunculkan bergantung pada konteks situasi yang dihadapi. (Materi Akta V Dikti, 1984)
B.      Ilmu
Ilmu adalah seluruh usaha sadar untuk menyelidiki, menemukan, dan meningkatkan pemahaman manusia dari berbagai segi kenyataan dalam alam manusia. Segi-segi ini dibatasi agar dihasilkan rumusan-rumusan yang pasti. Ilmu memberikan kepastian dengan membatasi lingkup pandangannya, dan kepastian ilmu-ilmu diperoleh dari keterbatasannya.
a)      Pengertian Ilmu menurut  Minto Rahayu
Ilmu adalah pengetahuan yang telah disusun secara sistematis dan berlaku umum, sedangkan pengetahuan adalah pengalaman yang bersifat pribadi/kelompok dan belum disusun secara sistematis karena belum dicoba dan diuji
b)      Pengertian Ilmu Menurut  Popper
ilmu adalah tetap dalam keseluruhan dan hanya mungkin direorganisasi.
c)      Pengertian Ilmu Menurut  Dr. H. M. Gade
Ilmu adalah falsafah. yaitu hasil pemikiran tentang batas-batas kemungkinan pengetahuan manusia
d)      Pengertian Ilmu Menurut  M. Izuddin Taufiq
Ilmu adalah penelusuran data atau informasi melalui pengamatan, pengkajian dan eksperimen, dengan tujuan menetapkan hakikat, landasan dasar ataupun asal usulnya.


1.      Ilmu dalam Perspektif Moral
Sejak saat pertumbuhannya, ilmu sudah terkait dengan masalah moral. Ketika Copernicus (1473-1543) mengajukan teorinya tentang kesemestaan alam dan menemukan bahwa “bumi yang berputar mengelilingi matahari” dan bukan sebaliknya seperti yang dinyatakan dalam ajaran agama maka timbullah interaksi antara ilmu dan moral (yang bersumber pada ajaran agama) yang berkonotasi metafisik. Secara metafisik ilmu ingin mempelajari alam sebagaimana adanya, sedangkan di pihak lain terdapat keinginan agar ilmu mendasarkan kepada pernyataan-pernyataan (nilai-nilai) yang terdapat dalam ajaran-ajaran di luar bidang keilmuan (nilai moral), seperti agama. Dari interaksi ilmu dan moral tersebut timbullah konflik yang bersumber pada penafsiran metafisik yang berkulminasi pada pengadilan inkuisisi Galileo pada tahun 1633. Galileo oleh pengadilan agama dipaksa untuk mencabut pernyataan bahwa bumi berputar mengelilingi matahari.
Ketika ilmu dapat mengembangkan dirinya, yakni dari pengembangan konsepsional yang bersifat kontemplatif disusul penerapan-penerapan konsep ilmiah ke masalah-masalah praktis atau dengan perkataan lain dari konsep ilmiah yang bersifat abstrak menjelma dalam bentuk konkret yang berupa teknologi, konflik antar ilmu dan moral berlanjut. Seperti kita ketahui, dalam tahapan penerapan konsep tersebut ilmu tidak saja bertujuan menjelaskan gejala-gejala alam untuk tujuan pengertian dan pemahaman, tetapi lebih jauh lagi bertujuan memanipulasi faktor-faktor yang terkait dalam gejala tersebut untuk mengontrol dan mengarahkan proses yang terjadi. Bertrand Russel menyebut perkembangan ini sebagai peralihan ilmu dari tahap “kontemplasi ke manipulasi” (Dikti, 1984)
Dalam tahap manipulasi masalah moral muncul kembali. Kalau dalam kontemplasi masalah moral berkaitan dengan metafisika keilmuan maka dalam tahap manipulasi masalah moral berkaitan dengan cara penggunaan pengetahuan ilmiah. Atau secara filsafati dapat dikatakan bahwa dalam tahap pengembangan konsep terdapat masalah moral yang ditinjau dari segi ontologis keilmuan, sedangkan dalam tahap penerapan konsep terdapat masalah moral yang ditinjau dari segi aksiologi keilmuan. Aksiologi itu sendiri adalah teori nilai yang berkaitan dengan kegunaan dari pengetahuan yang diperoleh.
Dihadapkan dengan masalah moral dalam menghadapai ekses ilmu yang bersifat merusak, para ilmuwan terbagi ke dalam dua golongan pendapat.
1)      Ilmuwan golongan pertama menginginkan bahwa ilmu harus bersifat netral terhadap nilai-nilai, baik itu secara ontologis maupun aksiologis. Dalam tahap ini tugas ilmuwan adalah menemukan pengetahuan dan terserah kepada orang lain untuk mempergunakannya, terlepas apakah pengetahuan itu dipergunakan untuk tujuan baik ataukah untuk tujuan yang buruk.
2)      Ilmuwan golongan kedua sebaliknya berpendapat bahwa netralitas ilmu terhadap nilai-nilai hanyalah terbatas pada metafisik keilmuan, sedangkan dalam penggunaannya kegiatan keilmuan haruslah berlandaskan pada asas-asa moral.
Golongan kedua mendasarkan pendapatnya pada beberapa hal, yakni,
1.      Ilmu secara faktual telah dipergunakan secara destruktif oleh manusia yang dibuktikan dengan adanya dua perang dunia yang mempergunakan teknologi-teknologi keilmuan
2.      Ilmu telah berkembang dengan pesat dan makin esoterik sehingga kaum ilmuwan lebih mengetahui tentang ekses-ekses yang mungkin terjadi bila terjadi salah penggunaan
3.      Ilmu telah berkembang sedemikian rupa sehingga terdapat kemungkinan bahwa ilmu dapat mengubah manusia dan kemanusiaan yang paling hakiki seperti pada kasus revolusi genetika dan teknik perubahan sosial. Berdasarkan ketiga hal itu maka golongan kedua berpendapat bahwa ilmu secara moral harus ditujukan untuk kebaikan manusia tanpa merendahkan martabat atau mengubah hakikat kemanusiaan.
Pendekatan secara ontologis, epistemologis dan aksiologis memberikan 18 asas moral yang terkait dengan kegiatan keilmuan. Keseluruhan asas tersebut pada hakikatnya dapat dikelompokkan menjadi dua yakni kelompok asas moral yang membentuk tanggung jawab profesional dan kelompok yang membentuk tanggung jawab sosial.Tanggung jawab profesional lebih ditujukan kepada masyarakat ilmuwan dalam pertanggung jawaban moral yang berkaitan dengan landasan epistemologis.
Tanggung jawab profesional ini mencakup asas

a)      Kebenaran
b)      Kejujuran
c)      Tanpa kepentingan langsung
d)      Menyandarkan kepada kekuatan argumentasi
e)      Rasional
f)       Obyektif
g)      Kritis
h)      Terbuka
i)        Pragmatis
j)        Netral

Suatu peradaban yang ditandai dengan masyarakat keilmuan yang maju secara sungguh-sungguh melaksanakan asas moral ini terutama yang menyangkut asas kebenaran, kejujuran, bebas kepentingan dan dukungan berdasarkan kekuatan argumentasi. Seorang yang melakukan ketidakjujuran dalam kegiatan ilmiah mendapatkan sanksi yang konkrit; dan sanksi moral dari sesama ilmuwan lebih berfungsi dan lebih efektif dibandingkan dengan sanksi legal. Tidak ada sanksi yang lebih berat bagi seorang ilmuwan selain menjadi seorang paria yang dikucilkan secara moral dari masyarakat keilmuan. Di negara kita sanksi moral ini belum membudaya dan hal inilah yang menyebabkan suburnya upaya-upaya amoral dalam kegiatan keilmuan.Mengenai tanggung jawab sosial yakni pertanggung jawaban ilmuwan terhadap masyarakat yang menyangkut asas moral mengenai pemilihan etis terhadap obyek penelaahan keilmuan dan penggunaan pengetahuan ilmiah terdapat dua tafsiran yang berbeda.
Kelompok ilmuwan pertama menafsirkan bahwa ilmuwan harus bersikap netral artinya bahwa terserah kepada masyarakat untuk menentukan obyek apa yang akan ditelaah dan untuk apa pengetahuan yang disusun kaum ilmuwan itu dipergunakan. Sedangkan kelompok ilmuwan kedua berpendapat bahwa ilmuwan mempunyai tanggung jawab sosial yang bersifat formal dalam mendekati kedua permasalahan tersebut di atas. Einstein dan Socrates mungkin benar, ilmu pengetahuan ternyata juga mendatangkan malapetaka bagi manusia. Ilmu pengetahuan politik, ekonomi, sosial, informasi dan komunikasi, teknologi dan militer dapat saja mendatangkan kesejahteraan, sekaligus menimbulkan malapetaka bagi manusia. Sosiolog Rene Descartes mengatakan “ilmu tanpa moral adalah buta, moral tanpa ilmu adalah bodoh”.Timbulnya dilema-dilema nurani yang mengakibatkan konflik berkembangnya ilmu (pengetahuan) dengan moral, kemudian muncul teori etika, tetapi juga tidak bisa serta merta menjadi pegangan untuk mempertanggungjawaban pengambilan keputusan (Dikti, 1984).
Teori etika memberikan kerangka analisis bagi pengembangan ilmu agar tidak melanggar penghormatan terhadap martabat kemanusiaan:
  1. Peran moral adalah mengingatkan agar ilmu boleh berkembang secara optimal, tetapi ketika dihadapkan pada masalah penerapan atau penggunaannya harus memperhatikan segi kemanusiaan baik pada tataran individu maupun kelompok.
  2. Peran moral berimplikasi pada signifikansi tanggung jawab, yakni tanggungjawab moral dan sosial. Dalam konteks ini, tanggungjawab moral menyangkut pemikiran bahwa ilmuwan tidak lepas dari tanggungjawab aplikasi ilmu yang dikembangkannya. Bahwa ilmu tersebut harus diaplikasikan untuk hal-hal yang benar, bukan untuk merusak manusia.
  3. Dari sisi tanggung jawab sosial, ilmuwan memiliki dan memahami secara utuh tentang kesadaran bahwa ilmuwan adalah manusia yang hidup atau berada di tengah-tengah manusia lainnya.
  4. Perlunya ilmu dan moral (bagian dari suatu kebudayaan yang dikembangkan dan digunakan manusia) seyogyanya berjalan seiring. Ketika manusia mengaplikasikan hasil pengembangan ilmu dalam format penemuan (pengetahuan) atau teknologi baru, moral akan mengikuti atau mengawalnya.
Hal tersebut dimaksudkan bagi kepentingan penghormatan atas martabat kemanusiaan. Hal tersebut di atas, membuat para ilmuwan harus mempunyai sikap formal mengenai penggunaan pengetahuan ilmiah. Bagi kita sendiri yang hidup dalam masyarakat Pancasila, tidak mempunyai pilihan lain selain konsisten dengan sikap kelompok ilmuwan kedua, dan secara sadar mengembangkan tanggung jawab sosial di kalangan ilmuwan dengan Pancasila sebagai sumber moral (das sollen) sikap formal kita. Tetapi dalam kenyataannya, mekanisme pendidikan di Indonesia, dengan menempatkan kreatifitas intelektualitas (mengutamakan kemampuan keilmuan) sebagai landasan pembangunan negara tapi seringkali melupakan kreatifitas moralitas (pendidikan moral agama/religius) sehingga telah menggiring Indonesia ke arah kebobrokan.
1)      Hubungan Ilmu dan Moral 
Ilmu dan moral keduanya termasuk ke dalam genus pengetahuan yang mempunyai karakteristik masing-masing. Tiap-tiap pengetahuan mempunyai tiga komponen yang merupakan tiang penyangga tubuh pengetahuan yang disusunnya. Komponen tersebut adalah ontologi, epistemologi dan aksiologi. Ontology merupakan  asas dalam menetapkan batas/ruang lingkup ujud yang menjadi obyek penelaahan (obyek ontologis atau obyek formal dari pengetahuan) serta penafsiran tentang hakekat realitas (metafisika) dari obyek ontologis atau obyek formal tersebut. Epistemologi merupakan asas mengenai cara bagaimana materi pengetahuan diperoleh dan disusun menjadi suatu tubuh pengetahuan. Aksiologi merupakan asas dalam menggunakan pengetahuan yang telah diperoleh dan disusun dalam tubuh pengetahuan tersebut.
Agar mendapatkan pengertian yang jelas mengenai kaitan antara ilmu dan moral maka sebaiknya pengkajian mengenai hal tersebut didekati secara terperinci dari ketiga komponen tadi. Sebab pernyataan yang bersifat umum seperti “ilmu adalah netral” atau “ilmu tidak terbebas dari nilai” bisa menyasatkan dan hanya bisa ditafsirkan dengan benar sekiranya dikaitkan dengan aspek atau komponen keilmuan tertentu. Inilah yang menyebabkan kontroversi yang berlarut-larut mengenai kaitan antara ilmu dan moral. Kedua pernyataan tersebut diatas yang kelihatannya bertentangan dan menjadi dasar argumentasi dari kedua kutub (aliran) yang berlawanan, yakni bahwa “ilmu adalah netral” atau “ilmu tidak terbebas dari nilai”, sebenarnya dapat dipertemukan sekiranya dilihat dalam lingkup yang tepat. Untuk itulah maka pembahasan mengenai kaitan antara ilmu dengan moral akan didekati secara lebih terperinci dari segi ontology, epistomologi dan aksiologi keilmuan.

1.      Pendekatan ontologis
Secara ontologis maka ilmu membatasi lingkup penelaahan keilmuannya hanya pada daerah-daerah yang berada dalam jangkauan pengalaman manusia. Obyek penelaahan yangberada dalam batas pra-pengalaman (seperti penciptaan manusia) dan pasca-pengalaman (seperti surga dan neraka) diserahkan ilmu kepada pengetahuan lain. Ilmu hanya merupakan salah satu pengetahuan dari sekian banyak pengetahuan yang mencoba menelaah kehidupan dalam batas-batas ontologis tertentu. Penetapan lingkup batas penelaah keilmuan yang bersifat empiris ini adalah konsisten dengan asas epistemologi keilmuan yang mensyaratkan adeanya verifikasi secara empiris dalam proses penemuan dan penyusunan pernyataan yang bersifat benar secara ilmiah.
Aspek kedua dari ontologi keilmuan adalah penafsiran tentang hakekat realitas obyek ontologisme keilmuan sebagaimana disebutkan diatas. Penafsiran metafisik keilmuan harus didasarkan kepada karakteristik obyek ontologis sebagaimana adanya (das sein) dengan deduksi-deduksi yang dapat diverifikasi secara fisik. Ini berarti secara metafisik ilmu terbebas dari nilai-nilai yang bersifat dogmatic. Galileo (1564-1642) menolak dogma agama bahwa “matahari berputar mengelilingi bumi” sebab pernyataan tersebut tidak sesuai dengan kenyataan factual sebagaimana ditemukan oleh Copernicus (1473-1543). Pengadilan terhadap Galileo oleh penguasa agama pada musim dingin tahun 1633 merupakan tonggak historis dari itikad keilmuan untuk membebaskan ilmu dari nilai-nilai yang bersifat dogmatic dari manapun datangnya. Hal ini bukan berarti bahwa ilmu menolak nilai-nilai yang berkembang dalam kehidupan, namun sifat dogmatic itulah yang secara asasi ditentang. Suatu pernyataan diterima sebagai premis dalam argumentasi ilmiah hanya setelah melalui pengkajian/penelitian berdasarkan epistemologi keilmuan. Nilai budaya gotong-royong umpamanya secara hipotetis bisa berlaku sebagi asumsi tentanng manusia dalam kegiatan manajemen bagi sub-kultur tertentu di Indonesia. Untuk mensahihkan kebenaran pernyataan tersebut maka langkah pertama adalah melukakn penelitian untuk penguji konsekuensi deduktifnya secara empiris, sejalan dengan apa yang dikatakan Einstein: “Ilmu dimulai dengan fakta dan diakhiri dengan fakta apa pun juga teori yang disusun diantara keduanya.”15)
Metafisika keilmuan yang berdasarkan kenyataan sebagaimana adanya (das sein) menyebabkan ilmu menolak premis moral yang bersifat seharusnya (das sollen). Ilmu justru merupakan pengetahuan yang bisa dijadikan alat untuk mewujudkan tujuan-tujuan yang mencerminkan das sollen dengan jalan mempelajari das sein agar dapat menjelaskan-meramalkan-mengontrol gejala alam. Kecenderungan untuk memaksakan nilai-nilai moral secara dogmatic ke dalam argumentasi ilmiah akan mendorong ilmu surut ke belakang ke zaman pra-Copernicus dan mengundang kemungkinan berlangsungnya Inkuisisi a la Galileo pada zaman modern. Namun hal ini jangan ditafsirkan bahwa dalam menelaah das sein ilmu terlepas sama sekali dari das sollen: dari bagan di sebalik dapat dilihat bahwa dari 18 asas moral yang terkandung dalam kegiatan keilmuan maka 17 diantaranya bersifat das sollen.
Dari 17 asas moral tersebut maka terdapat 3 asas yang terkait dengan aspek pemilihan obyek penelaahan ilmiah secara etis.  Kaidah moral ini menyebutkan bahwa dalam menetapkan obyek penelaahan, kegiatan keilmuan tidak boleh melakukan upaya yang bersifat merubah kodrat manusia, merendahkan martabat manusia dan mencampuri permasalahan kehidupan. Dengan demikian maka ilmu menentang percobaan mengenai genetika (genetic engineering) sebab bersifat merubah kodrat manusia dan menentang percobaan untuk membentuk species baru sebab mencampuri masalah kehidupan.

2.      Pendekatan Aksiologis
Konsisten dengan asas moral dalam pemilihan obyek penelaahan ilmiah maka pennggunaan pengetahuan ilmiah mempunyai asas moral tertentu pula. Pada dasarnya ilmu harus digunakan dan dimanfaatkan untuk kemaslahatan manusia. Dalam hal ini maka ilmu dapat dimanfaatkan sebagai sarana atau alat dalam meningkatkan taraf hidup manusia dengan memperhatikan kodrat manusia, martabat manusia dan kelestarian/keseimbangan alam. Salah satu alas an untuk tidak mencampuri masalah kehidupan secara ontologis adalah kekhawatiran bahwa hal ini akan mengganggu keseimbangan kehidupan.
Untuk kepentingan manusia tersebut maka pengetahuan ilmiah yang diperoleh dan disusun dipergunakan secara komunal dan universal. Komunal berarti bahwa ilmu merupakan pengetahuan yang menjadi milik bersama, setiap orang berhak memanfaatkan ilmu menurut kebutuhannya, sesuai dengan asas komunalisme. Universal berarti bahwa ilmu tidak mempunyai konotasi parochial seperti ras, ideolog atau agama. “Ilmu Russia atau ilmu Arya,” meminjam perkataan Barber, “merupakan sesuatu yang dibenci ilmu (Abhorrent dalam Dikti 1984).

3.      Pendekatan Epistemologis
Landasan epistemologi ilmu tercermin secara operasional dalam metode ilmiah. Pada dasarnya metode ilmiah merupakan cara ilmu memperoleh dan menyusun tubuh pengetahuannya berdasarkan: (a) kerangka pemikiran yang bersifat logis dengan argumentasi yang bersifat konsisten dengan pengetahuan sebelumnya yang telah berhasil disusun: (b) menjabarkan hipotesis yang merupakan deduksi dari kerangka pemmikiran tersebut dan (c) melakukan verifikasi terhadap hipotesis termaksud untuk menguji kebenaran pernyataannya secara faktual. Secara akronim metode ilmiah terkenal sebagai logico-hypothetico-verifikayif atau deduct-hypothetico-verifikatif.
Kerangka pemikiran yang logis adalah argumentasi yang bersifat rasional dalam mengembangkan penjelasan terhadap fenomena alam. Verifikasi secara empiris berarti evaluasi secara obyektif dari suatu pernyataan hipotesis terhadap kenyataan faktual. Verifikasi ini berarti bahwa ilmu terbuka untuk kebenaran lain selain yang terkandung dalam hipotesis (mungkin fakta menolak pernyataan hipotesis). Demikian juga verifikasi factual membuka diri terhadap kritik terhadap kerangka pemikiran yang mendasari pengajuan hipotesis. Kebenaran ilmiah dengan keterbukaan terhadap kebenaran baru mempunyai sifat pragmatis yang prosesnya secara berulang (siklus) berdasarkan cara berfikir kritis. Keterbukaan ini merupakan system umpan balik korektif yang ditunjang dengan cara berfikir kritis yang disebut Merton sebagai “skeptisisme terorganisasi.  Artinya cara berfikir ilmiah dimulai dengan sifat skeptif terhadap kebenaran sampai kesahihan kebenaran tersebut dibuktikan lewat prosedur keilmuan. Cara berfikir ini berbeda dengan modus yang dimulai dengan sikap percaya seperti terdapat umpamanya dalam agama.            Di samping sikap moral yang secara implicit terkait dalam proses logico-hypothetico-verifikatif tersebut terdapat asas moral yang secara eksplisit merupakan das sollen dalam epistemologi keilmuan. Asas tersebut ialah bahwa dalam proses kegiatan keilmuan maka setiap upaya ilmiah harus ditujukan untuk menemukan kebenaran, yang dilakukan dengan penuh kejujuran, tanpa mempunyai kepentingan langsung tertentu dan hak hidup yang berdasarkan kekuatan argumentasi secara individual (Dikti,1984).                                                   “Ilmu merupakan sikap hidup untuk mencintai kebenaran dan membenci kebohongan,” ujar Mangunwijaya, “oleh sebab itu maka ilmu di Indonesia sukar berkembang selama kita suka bohong.  Ketidakjujuran dalam kegiatan keilmuan  nampak dalam gejala “kebudayaan nyontek”, ijazah “aspal” (asli tapi palsu) dan merajalelanya kebocoran ujian. Demikian juga seperti semboyan “seni untuk seni” maka ilmuwan bersemboyan “kebenaran untuk kebenaran tanpa melibatkan dirinya dengan kepentingan langsung dari upaya ilmiahnya. Raison d’etre suatu buah fikiran ilmiah semata-mata bertopang kepada kekuatan argumentasi yang dikandungnya dan tidak bersandar kepada kekuatan social atau politik. “Bukan tidak mungkin” meminjam perkataan Alfian, “bahwa seorang intelektual akan menjadi sangat terikat oleh kepentingan golongan, penguasa, agama, atau partainya, sehingga dia memakai keintelektualannya untuk membenarkan setiap kebijaksanaan, tindakan atau perbuatan golongan, penguasa, agama atau partainya (Dikti, 1984).
Tanggung Jawab Moral Ilmuwan: Profesional dan Moral
Pendekatan secara ontologis, epistemologis dan aksiologis memberikan 18 asas moral yang terkait dengan kegiatan keilmuan. Keseluruhan asas moral ini pada hakekatnya dapat dikelompokkan menjadi dua yakni kelompok asas moral yang membentuk tanggung jawab professional dan kelompok yang membentuk tanggung jawab sosial.
Tanggung jawab professional menurut Suriasumantri (2010), lebih ditujukan kepada masyarakat ilmuwan dalam pertanggungjawaban moral yang berkaitan dengan landasan epistemologis. Dalam bagan kita maka tanggung jawab professional ini mencakup asas nomor  (1)  kebenaran; (2) kejujuran; (3) tanpa kepentingan langsung; (4) menyandarkan kepada kekuatan argumentasi; (5) rasional; (6) obyektif; (7) kritis; (8) terbuka; (9) pragmatis; dan  (13) netral dari nilai-nilai yang bersifat dogmatic dalam menafsirkan hakekat realitas.
Hampir tak terdapat perbedaan dalam penafsiran ilmuwan terhadap tanggung jawab professional ini, meskipun dari waktu ke waktu sejak abad pertengahan secara sporadis timbul usaha untuk merubah asas moral nomor (13) dengan dogma-dogma agama atau ideology. Usaha ini tak pernah berhasil sebab tidak didukung oleh masyarakat ilmuwan. Walaupun demikian terdapat perbedaan yang nyata dalam mengimple-mentasikan asas moral dan melaksanakan sanksi-sanksnya.
Suatu peradaban yang ditandai dengan masyarakat keilmuan yang maju secara sungguh-sungguh melaksanakan asas moral ini terutama yang menyangkut asas no (1) kebenaran; (2) kejujuran; (3) bebas kepentingan; dan (4) dukungan berdasarkan kekuatan argumentasi. Seorang yang melakukan ketidakjujuran dalam kegiatan ilmiah mendapatkan sanksi yang konkrit; dan sanksi moral dari sesame ilmuwan lebih berfungsi dan lebih efektif dibandingkan dengan sanksi legal. Tidak ada sanksi yang lebih berat bagi seorang ilmuwan selain menjadi seorang pria yang dikucilkan secara moral dari masyarakat keilmuan. Di Negara kita sanksi moral ini belum membudaya dan hal inilah mungkin yang menyebabkan suburnya upaya-upaya amoral dalam kegiatan keilmuan kita seperti telah disinggung terdahulu.
Mengenai tanggung jawab social yakni pertnggung-jawaban ilmuwan terhadap masyakat yang menyangkut asas moral mengenai pemilihan etis terhadap obyek penelaahan keilmuan dan penggunaan pengetahuan ilmiah terdapat dua tafsiran yang berbeda. Kelompok  ilmuwan yang pertama menafsirkan bahwa ilmuwan harus bersikap netral artinya bahwa terserah kepada masyarakat untuk menentukan obyek apa yang akan ditelaah dan untuk apa pengetahuan yang disusun kaum ilmuwan itu dipergunakan. Sedangkan kelompok ilmuwan kedua berpendapat bahwa ilmuwan mempunyai kelompok ilmuwan kedua berpendapat bahwa ilmuwan mempunyai tanggung jawab sosial yang bersifat formal dalam mendekati kedua permasalahan tersebut di atas.Sikap kelompok ilmuwan kedua didasarkan kepada analisis sejarah mengenai interaksi antara ilmu dan masyarakat. Pengalaman kedua perang dunia telah membuktikan bahwa ilmu telah dipergunakan untuk tujuan-tujuan yang destruktif: Perang Dunia I terkenal dengan perang kuman dan Perang Dunia II terkenal dengan bom atom. Mau tidak mau maka ilmuwan harus mempunyai sikap formal mengenai penggunaan pengetahuan ilmiah. Demikian juga sejarah perkembangan ilmu telah berada dalam ambang kritis, dimana ilmu bukan saja mampu mengembangkan sarana yang mempermudah kehidupan manusia, namun juga mampu merubah kodrat manusia. Revolusi di bidang genetika dan pengembangan ilmu-ilmu social yang mampu mengontrol kelakuan manusia menggoda manusia untuk memakan buah khuldi yang ketiga. (Buah pertama dimakan Adam dan Hawa di surga sedangkan buah kedua dimana 46 tahun yang lalu sambil menyaksikan ledakan bom atom pertama di padang Alamagordo, New Mexico). Berdasarkan hal inilah maka ilmuwan merasa terpanggil untuk mengembangkan sikap tanggung jawab sosialnya secara formal (Dikti, 1984).
Bagi kita sendiri yang hidup dalam masyarakat yang berasaskan Pancasila, tidah mempunyai pilihan lain, selain konsisten dengan sikap kelompok ilmuwan kedua, dan secara sadar mengembangkan tanggung jawab social di kalangan ilmuwan dengan Pancasila sebagai sumber moral (das sollen) sikap formal kita.
Sikap Politik formal  Ilmuwan
Perlukah ilmuwan mempunyai sikap politik formal? Jawaban ini terkait dengan premis mengenai sikap moral: sekiranya ilmuwan mempunyai tanggung jawab yang formal maka konsekuensinya ilmuwan harus mempunyai sikap politik formal sebab sikap politik formal merupakan pengejawantahan tangggung jawab social dalam pengambilan keputusan politik. Keputusan politis adalah  keputusan yang bersifat mengikat (authoritative), menyangkut seluruh masyarakat dan bersifat mengalokasikan kelebihan dan kekurangan (advantages and disadvantages. Dalam proses pengambilan keputusan politis ini maka ilmuwan dapat berperan antara lain sebagai intelektual, birokrat atau teknokrat (Dikti, 1984)
Sikap Einstein dan kawan-kawan yang tercermin dalam sepucuk surat tertanggal 2 Agustus 1939 kepada Presiden Roosevelt merupakan contoh dari sikap politik ilmuwan. Berdasarkan informasi bahwa Nazi Jerman mungkin sedang mengembangkan bom atom maka Einstein, meskipun dengan hati berat, mengambil keputusan bahwa “merupakan kewajiban saya untuk memberitahukan kepada anda fakta-fakta” dan merekomendasikan pembuatan bom atom.22) Meskipun kemmudian ekses pengambilan keputusan politis ini menjadi beban berat bagi manusia, namun konsekuensi itu harus dilihat dalam lingkup hakekat pengambilan keputusan politis, yang selalu bersifat bermata dua seperti buah simalakama: Bersifat netral dalam krisis moral adalah justru amoral!23) Sikap politik ilmuwan adalah konsisten dengan asas moral keilmuan. Terdapat empat asas moral yang bersifat unik yang mempengaruhi sikap politik formal. Asas moral ini adalah (1) kebenaran; (2) kejujuran; (3) tidak mempunyai kepentingan langsung; dan (4) menyandarkan diri kepada kekuatan argumentasi dalam menilai kebenaran, atau dengan perkataan lain, tidak mempunyai ikatan primordial secaramoral, psikologis, sosial maupun politik dalam pengambilan keputusan. Keempat asas moral ini bersifat menunjang suatu orientasi terhadap kepentingan nasional dari sikap politik formal ilmuwan. Demikian juga sikap politik yang berdasarkan pendekatan ilmiah akan mendorong sikap politik yang bersifat demokratis sebagai pencerminan dari asas moral yang melandasi kegiatan keilmuan (Dikti, 1984).
Dalam menafsirkan kepentingan nasional ini maka ilmuwan tidak akan selalu sependapat dengan tafsiran penguasa, bahkan akan terdapat perbedaan penafsiran di kalangan ilmuwan itu sendiri. “Kewajiban moral ilmuwan,” meminjam perkataan Infeld, “adalah mengikuti otoritas pertimbangan pribadinya. Namun hal ini jangan ditafsirkan sebagai suatu keadaan yang disfungsional sebab fungsi ilmuwan dalam proses pengambilan keputusan politik adalah memberikan alternatife-alternatif dan bukan sebagai kekuatan politik yang berfungsi memberikan keputusan. Jadi ilmuwan tidak selayaknya diperlakukan sebagai lawan politik oleh kekuatan politik yang mempunyai pendapat yang berbeda dengan sikap politik ilmuwan.

Ilmu dalam Perspektif Kehidupan Berbangsa dan Bernegara
Terdapat tiga tesis utama yang hendak diajukan dalam kaitan antara ilmu dengan kehidupan berbangsa dan bernegara yakni pertama, ilmu merupakan alat untuk mewujudkan tujuan politis secara efektif dan alamiah yang menunjang tumbuhnya demokrasi: kedua, asas moral yang terkandung dalam kegiatan keilmuan menunjang pembinaan karakter bangsa secara positif; dan, ketiga, sikap politik formal ilmuwan yang berorientasi kepada kepentingan nasional menunjang terwujudnya persatuan dan kesatuan bangsa.
Keputusan politis merupakan komitmen nasional dalam mewujudkan tujuan-tujuan moral yang terkandung dalam cita-cita dan aspirasi masyarakat dalam berbangsa dan bernegara. Untuk mewujudkan tujuan tersebut maka ilmu merupakan alat yang efektif dan alamiah. Sifat alamiah di sini harus diartikan bahwa dalam mewujudkan suatu tujuan ilmu mendasarkan diri kepada sifat-menjelaskan-meramalkan-kontrol dari upaya keilmuan dan dengan demikian menjauhkan sebisa mungkin unsur paksaan. Sifat ini selaras dengan proses politik yang bersifat demokratis. Patut dikemukakan di sini bahwa ilmu bukanlah satu-satunya alat yang secara efektif dapat mewujudkan suatu tujuan politis. Pendekatan-pendekatan moral yang dijabarkan secar normative dari suatu ideology mungkin bisa lebih efektif dari ilmu dan merupakan jalan pintas dalam merealisasikan suatu tujuan politis. Namun sesuai dengan hakekatnya yang berorientasi kepada das sollen, pendekatan moral dalam merealisasikan tujuan politis cenderung untuk mempergunakan unsure paksaan, yang lebih jauh akan mendorong tumbuhnya proses politik yang bersifat otoriter.
Asas moral yang terkandung dalam kegiatan keilmuan merupakan sumbangan posoitif terhadap pembentukan karakter bangsa. “Cara iluwan menemukan kebenaran.” Kata C.P. Snow. “memaksakan secara tetap disiplin moral. Aspek moral dari kegiatan keilmuan ini belum mendapatkan perhatian yang layak, baik dari kalangan pendidik dalam proses belajar mengajar, maupun dari masyarakat ilmuwan dalam menegakkan disiplin moral. Bagi kaum ilmuwan sendiri maka langkah pertama ke arah ini adalah membenahi diri kedalam, baik secara individual, maupun lewat masyarakat keilmuan. Tak ada cara mendidik yang lebih efektif selain member contoh yang baik.
3) Secara ontologis (metafisik) maka ilmu bersifat netral terhadap nilai-nilai yang bersifat dogmatic dalam menafsirkan hakekat realitas sebab ilmu merupakan upaya manusia untuk mempelajari alam sebagai mana adanya (das Sein).
4)  Secara ontologis dalam pemilihan ujud yang akan dijadikan obyek penelaahannya (obyek ontologis/obyek formal) maka ilmu dibimbing oleh kaidah moral yang berasaskan tidak merubah kodrat manusia, tidak merendahkan martabat manusia dan tidak mencampuri masalah kehidupan:
5)  Secara aksiologis ilmu harus digunakan dan dimanfaatkan untuk kebaikan manusia dengan jalan meningkatkan taraf hidupnya dengan memperhatikan kodrat manusia, martabat manusia dan keseimbangan/kelestarian alam. Upaya ilmiah ini dilakukan dengan
penggunaan dan pemanfaatan pengetahuan ilmiah secara komunal dan universal;
6)  Secara epistemologis maka upaya ilmiah tercermin dealam metoda keilmuan yang berporoskan proses logico-hypothetico-verifikatif dengan kaidah moral yang berasaskan bertujuan menemukan kebenaran, yang dilakukan dengan penuh kejujuran, tanpa kepentingan langsung tertentu dan berdasarkan kekuatan argumentasi;
7)  Asas moral yang terkandung dalam kegiatan keilmuan merupakan sumbangan positif baik bagi pembentukan manusia perorangan maupun pembentukan karakter bangsa. Untuk itu maka aspek moral keilmuan sebaiknya mendapatkan perhatian yang lebih sungguh-sungguh dari para pendidik dan masyarakat keilmuan;
8)  Upaya peningkatan pendidikan moral keilmuan sebaiknya dikaitkan sekaligus dengan upaya meningkatkan kemampuan penalaran ilmiah lewat pemberian mata ajaran filsafat ilmu pada semua tingkat pendidikan.32) Materi filsafat ilmu ini disususn dengan memperhatikan faktor-faktor sebagi berikut: (a) bersifat seimbang dalam pendekatan ontologis, epistemologis danaksiologis; (b) bersifat operasional dengan memfocuskan pembahasan hanya pada masalah kefilsafatan yang mempunyai kaitan dengan keilmuan; (c) memasukkan pembahasan mengenai sarana berfikir ilmiah seperti bahasa, logika, matematika, statistika dan metodologi penelitian ilmiah secara integrald; (d) ditujukan untuk memberikan gambaran umum mengenai perspektif keilmuan secara lengkap dengan berbagai perangkat lunak dan perangkat keras beserta berbagi aspeknya; (e) ditujukan bukan saja untuk merubah cara berfikir namun sekaligus cara bersikap dan bebrtindak menurut asas-asas keilmuan;
(f) diberikan dengan metode penyajian yang menarik dengan menekankan segi-segi afektif; (g) dibahas dalam eksistensi pluralism pengetahuan yang bersifat saling menunjang dengan membandingkan ilmu terhadap pengetahuan lain seperti agama, seni dan moral; dan (h) menghilangkan sekat-sekat buatan antara berbagai disiplin keilmuan seperti pembedaan antara ilmu-ilmu alam dengan ilmu-ilmu social;
9)  Sikap politik formal ilmuan yang berorientasi kepada kepentingan nasional yang dicirikan oleh motivasi untuk menemukan kebenaran, yang dilakukan dengan penuh kejujuran, tanpa kepentingan langsung tertentu dan bebas dari ikatan primordial, sekiranya diberikan dorongan untuk berkembang, akan menunjang terwujudnya kesatuan dan persatuan bangsa;
10)  Ilmu merupakan alat untuk mewujudkan tujuan politis (yang berdasarkan das Sollen) secara efektif dan alamiah (dengan metafisika keilmuan yang bersifat das sein). Sifat alamiah ini akan menjang proses kehidupan demokratis. Penggunaan nilai-nilai secara dogmatic sebagai premis metafisik dalam menafsirkan alam, dan mempergunakan analisisnya sebagi alat untuk mewujudkan tujuan politis, mengharuskan kita untuk secara terus menerus memaksakan kaidah moral, yang membuka peluang bekembangnya proses politis yang bersifat otoriter;
11) Menyarankan agar dipergunakan termminologi ilmu untuk science dan pengetahuan untuk knowledge (Dikti, 1984)


  1. Masalah Etika-Moral Dalam Ilmu
Ilmu merupakan sarana yang membantu manusia mencapai tujuan hidupnya, demikian pula juga menciptakan tujuan hidup itu sendiri. Hakikat Ilmu adalah mempelajari alam sebagaimana mestinya (das seiri). Namun demikian dalam perkembangannya sering ilmu tidak bebas dari nilai diluar keilmuan, seperti ajaran moral agama. Konsep ilmiah dari ilmu yang awal mulanya bersifat abstrak, objektif, bebas nilai (netral) kemudian dikembangkan pada konsep ilmiah pada menerapan masalah-masalah praktis dalam bentuk teknologi dan tidak bebas nilai.

Para Ilmuwan yang mendefinisikan etika dikelompokkan menjadi dua kelompok. Yang pertama para ilmuwan hanya menggunakan pertimbangan nilai kebenaran dengan mengesampingkan pertimbangan nilai metafisik (etika, kesusilaan dan kegunaan), sehingga ilmu harus objektif dan bebas nilai (etik). Kelompok kedua memandang perlu dalam kegiatan ilmu selalu terkait (gayut) dengan pertimbangan nilai. Pengetahuan, teknik dan etik adalah tiga unsur saling terkait, tidak dipisahkan.
Teknologi lahir sebagai konsekuensi ilmu pengetahuan. Pemanfaatan teknologi mencakup seluruh kehidupan manusia, berhubungan larigsung. dengan masalah sosial, kebudayaan dan etik. Dengan teknologi manusia dapat memanfaatkan kekuatan alam. Jadi teknologi merupakan sarana manusia untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.
Tujuan ilmu yang semula berusaha memberikan penjelasan dan pemahaman atas gejala alam, apa adanya. Ilmu bersifat netral. Dalam perkembangan ilmu juga terjadi ekses misalnya: Ilmu dalam tahap pertumbuhannya sudah dikaitkan dengan tujuan perang. Ilmu bukanhanya digunakan untuk menguasai alam, melainkan juga untuk memerangi sesama manusia dan menguasai mereka. Teori kuantum yang mempunyai kontribusi besar dalam pengembangan ilmu dan teknologi juga pernah disalahgunakan untuk pembuatan bom atom guiu menghancurkan musuh seperti yang terjadi di kota Hiroshima dan Nagasaki Jepang tahun 1945 adalah contoh dari ekses pengembangan ilmu.
Karena itu peran moral menjadi penting begitu kita berhadapan dengan ekses dari ilmu dan teknologi yang bersifat merusak.

  1. Etika Ilmu Dan Peneltian
Hal hal yang harus dijaga dan diperhatikan bagi seorang peneliti antara lain:
  1. Mempelajarialam sebagaimana mestinya(bebas nilai).Pelajanide Filsuf Copernicus dan Galileo, tentang Objektivitas.
  2. Bersifat netral dan umum.
  3. Hasil penelitian harus dikomunikasikan, disebarluaskan.
  4. Pengetahuan ilmu dapat digugurkan atau Falsifikasi.
  5. Original ide dalam penelitian (tidak plagiat).
  6. HAKI(copyright,intelectualpropertyright),sebagaijaminan originalitas.
  7. Otonomi, Beneficence, Justice,Nonmaleficence,Fidelity,Confidentiality, (Guido, 2006)
Guido, 2006 menjelaskan:
  1. Otonomi atau kebebasan responden menolak dan menerima untuk diikutkan. Peneliti harus menghormati keputusan responden.
  2. Beneficence adalah kemanfaatan perlakuan penelitian bagi responden dan peneliti.
  3. Justice artinya jika seseorang mendapat perlakuan, maka yang lain juga mendapatkan perlakuan. Perlakuan kelompok kontrol dapat bentuk lain, sehingga tak mengkacaukan hasil intervensi yang sebenarnya.
  4. Normaleficence artinya artinya pernberian intervensi tidak akan membahayakan atau memberikan efek negatif.
  5. Fidelity artinya peneliti menjunjung tinggi akan janji yang telah dibuat serta menjunjung tinggi komitmen yang telah disepakati.
  6. Confidentiality artinya informasi tentang responden dijaga kerahasiaannya.

Tanggung Jawab Ilmuwan
Ilmu menghasilkan teknologi yang diterapkan pada masyarakat. Teknologi dan ilmu pengetahuan dalam penerapannya dapat menjadi berkah dan penyelamatan bagi manusia, tetapi juga bisa menjadi bencana bagi manusia.
Dihadapkan dengan masalah moral ekses ilmu dan teknologi yang besifat merusak, para ilmuwan dapat dipilahkan menjadi dua golongan pendapat yaitu: (i) golongan yang berpendapat bahwa ilmu harus bersifat netral terhadap nilai-nilai baik itu secara ontologis maupun aksiologi. (ii) golongan yang berpendapat ilmu netralisasi ilmu hanyalah terbatas pada metafisika keilmuwan, sedangkan dalam penggunaanya harus berlandaskan nilai-nilai moral.
Golongan yang kedua ini mendasarkan pendapatnya pada tigal yakni (i) ilmu secra faktual telah dipergunakan secara destraktif  oleh manusia yang dibuktikan dengan adanya dua perang dunia yang mempergunakan teknologi keilmuan yang terjadi pada Bom Atom (ii) ilmu telah bekembang dengan pesat dan makin esoteric hingga kaum iluwan lebih mengetahui tentang ekses-ekses yang mungkin terjadi bilai terjadi penyalahgunaan (iii) ilmu telah berkembangan sedemikan rupa dimana terdapat kemungkinan bahwa ilmu dapat mengubah manusia dan kemanusiaan yang paling hakiki seperti pada kasus revolusi genetika dan teknik pembuatan sosial.
Fungsi ilmuawan tidak berhenti pada penelaah dan keilmuwan secar individual namun juga ikut bertanggung jawab agar produk keilmuannya sampai dan dapat dimanfaatkan masyarakat (Suriasumantri, 1984).          Dengan kata lain penciptaan ilmu bersifat individual namun komunikasi dan penggunaan ilmu adalah bersifat sosial. Impilkasi penting dari tanggung jawab sosial seorang ilmuwan, alah bahwa setiap pencarian dan penemuan kebenaran secara ilmiah harus disertai dengan landasan etis yang kukuh.
Lebih lanjut menurut Suriasumantri (1984), proses pencarian dan penemuan kebenaran ilmiah yang dilandasi etika, merupakan kategori moral yang menjadi dasar sikap etis seorang ilmuwan. Ilmuwan bukan saja berfungsi sebagai penganalisis materi kebenaran tersebut, tetapi juga harus menjadi prototipe moral yang baik. Aspek etika dari hakikat keilmuwan ini kurang mendapat perhatian dari para ilmuwanitu sendiri.
Tanggung jawab ilmuwan tidaklah ringan. Dapatkah seorang ilmuwan memikul tanggung jawab sedemikian itu, jika batas moral yang berlaku tidak bersifat universal?. Etika tidak dapat memberikan aturan universal yang konkret untuk setiap masa, kebudayaan, dan situasi (Peursen dkk 1990).
Kaum ilmuwan tidak boleh picik dan menganggap ilmu dan teknologi adalah segala-galanya, masih terdapat banyak lagi sendi-sendi lain yang menyangga peradaban manusia yang baik. Demikian juga masih terdapat kebenaran-kebenaran lain disamping kebenaran keilmuwan yang melengkapi harkat kemanusiaan yang hakiki.
Ilmuwan mempunyai kewajiban sosial untuk menyampaikan sosial untuk menyampaikan kepada masyarakat dalam bahasa yang mudah dicerna. Tanggung jawab sosial seorang ilmuwan adalah memberikan perspektif yang benar untung dan rugi baikm dan buruknya, sehingga penyelesaianya yang objektif dapat dimungkinkan.
Dengan kemampuan pengetahuannya seorang ilmuwan harus dapat memengaruhi opini masyarakat terhadap masalah-masalah yang seyogianya mereka sadari. Dalam hal ini, berbeda dengan saat menghadapi masyarkat, ilmuwan yang elitis dan esoterik, dia harus berbicara  dengan bahasa yang dapat dicerna oleh orang awam. Untuk itu ilmuwan bukan saja mengandalkan pengetahuannya dan daya analisisnya namun nuga intergritas kepribadiannya.
Seorang ilmuwan pada hakikatnya adalah manusia yang biasa berpikir dengan teratur dan teliti. Kelebihan seorang ilmuwan dalam berpikir secara teratur dan cermat. Inilah yang menyebabkan dia mempunyai tanggung jawab sosial.
Dibidang etika tanggung jawab sosial seorang ilmuwan bukan lagi hanya memberi informasi namun memberi contoh. Dia harus tampil didepan bagaimana caranya bersifat obyektif, terbuka, menerima kritikan, menerima pendapat orang lain, kukuh dalam pendirian yang dianggap benar dan berani mengakui kesalahan. Tugas seorang ilmuwan harus menjelaskan hasil penelitiannya sejernih mungkin atas dasar rasionalitas dan metodologis yang tepat
Seorang ilmuwan secara moral tidak akan memberikan hasil penelitian atau penemuannya dipergunakan untuk menindas bangsa lain meskipun yang mempergunakannya bangsa sendiri.
Pengetahuan merupakan kekuasaan, kekuasaan yang dapat dipakai untuk kemaslahatan manusia atau sebaliknya dapat pula disalahgunakan. Untuk itulah tanggung jawab ilmuwan haruslah “dipupuk” dan berada pada tempat yang tepat, tanggung jawab akademis dan tanggung jawab moral.
Berdasarkan uraian diatas, maka dapatlah dihipotesiskan, jika ilmuwan telah dapat memnuhi tanggung jawab sosialnya, maka ilmu pengetahuan itu akan berkembang pesat, ilmu pengetahuan itu akan dapat memberi manfaat besar bagi kehidupan manusia, dan ilmu pengetahuan itu tidak akan menimbulkan konflik di masyarakatya

Problem Etika Pengetahuan
Penerapan dari ilmu pengetahuan dan teknologi, menurut Adib, (2013) membutuhkan dimensi etis sebagai pengetahuan dan teknologi.  Dalam hal ini Ilmuwan dalam mengemban ilmu pengetahuan dan teknologi harus memerhatikan kodrat dan martabat manusia, menjaga keseimbangan ekosistem, bertanggung jawab kepada kepentingan umum, dan generasi mendatang, serta bersifat universal karena pada dasarnya ilmu pengetahuan dan teknologi adalah untuk mengembamgkan dan memperkokoh eksistensi manusia bukan untuk menghancurkan eksistensi manusia.
Tanggung jawab etis tidak hanya menyangkut upaya penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi secara tepat dalam kehidupan manusia. Akan tetapi, menyadari juga apa yang seharusnya dikerjakan atau tidak dikerjakan untuk memperoleh  kedudukan serta martabat manusia, baik dalam hubungan sebagai pribadi dengan lingkungannya maupun sebagai makhluk yang bertanggung jawab terhadap khalik-Nya.
Jadi sesuai dengan pendapat van Melsen (1985) bahwa perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi akan menghambat ataupun meningkatkan keberadaan manusia tergantung pada manusianya itu sendiri, karena ilmu pengetahuan teknologi dilakukan oleh manusia dan untuk kepentingan manusia dalam kebudayaan.
Tugas terpenting ilmu pengetahuan dan teknologi adalah menyediakan bantuan agar manusia dapat sungguh-sungguh mencapai pengertian tentang martabat dirinya. Ilmu pengetahuan dan teknologi bukan saja sarana untuk mengembangkan diri manusia. Tetapi juga merupakan hasil perkembangan dan krestifitas manusia itu sendiri.

Ilmu  Bebas Nilai atau Tidak Bebas Nilai
Ilmu pengetahuan menolak campur tangan faktor eksternal yang tidak secara hakiki menentukan ilmu pengetahuan itu sendiri.
3 Faktor sebagai indikator bahwa ilmu pengetahuan bebas nilai
  1. ilmu harus bebas dari pengaruh eksternal seperti faktor politis, ideologis, agama,budaya, dan unsur kemasyarakatan lainnya
  2.  perlunya kebebasan ilmiah yang mendorong terjadinya otonomi ilmu pengetahuan
  3. Penelitian tidak luput dari pertimbangan etis (yang sering dituding  menghambat kemajuan ilmu), karena nilai etis itu sendiri bersifat universal
Sosiolog, Webber, menyatakan bahwa ilmu sosial harus bebas nilai, tetapi ia juga mengatakan bahwa ilmu-ilmu ketika para sosial harus menjasi nilai yang relevan. Webber tidak yakin ketikka para ilmuwan sosial melakukan aktivitasnya seperti mengajar atau menulis mengenai bidang ilmu sosial itu, mereka tidak terpengaruh oleh kepentingan tertentu.

Sikap Ilmiah Yang Harus Dimiliki  Ilmuwan
Ilmu bukanlah pengetahuan yang datang demikian saja sebagai barang yang sudah jadi dan datang dari dunia khayal. Akan tetapi, ilmu merupakan suatu cara berpikir tentang suatu objek yang khas dengan pendekatan yang khas pula sehingga menghasilka suatu kesimpulan yang berupa pengetahuan ilmiah. Ilmiah dalam arti bahwa sistem dan struktur ilmu dapat dipertanggungjawabkan secar terbuka. Oleh karena itu, ia terbuka untuk untuk diuji oleh siapa pun (Adib, 2013).
Pengetahuan ilmiah adalah pengetahuan yang di dalam dirinya memiliki karakteristik kritis rasionalis, logis, objektif, dan terbuka. Hal ini merupakan suatu keharusan bagi seorang ilmuwan untuk melakukannya. Namun, menjadi masalah mendasar yang dihadapi ilmuwan setelah ia membangun suatu yang kokoh dan kuat, yakni masalah kegunaan ilmu bagi kehidupan manusia. Disini letak tanggung jawab seorang ilmuwan, masalh moral dan akhlak amat diperlukan.
Para ilmuwan sebagai orang yang profesional dalam bidang keilmuwan tentu perlu memiliki visi moral khusus sebagai ilmuwan. Moral inilah di dalam filsafat ilmu disebut sikap ilmiah (Abbas Hamami M., dalam Tim Dosen Filsafat Ilmu Fak. Filsafat UGM, 1996).
Sikap ilmiah harus dimiliki oelh setiap ilmuwan. Karena setiap ilmuwan dalah suatu sikap yang diarahkan untuk mencapai pengetahuan ilmiah yang bersifat objektif. Sikap ilmiah bagi seorang ilmuwan bukanlah membahas tentang tujuan dari ilmu, melainkan bagaimana cara untuk mencapai suatu ilmu yang bebas dari prasangka pribadi. Di samping itu, ilmu tersebut dapat dipertanggungjawabkan kepada Tuhan. Artinya, selaras anatar kehendak manuisa dengan kehendak Tuhan.
Sikap ilmiah yang perlu dimiliki para ilmuwan menurut Abbas Hamami (1996) terdapat enam hal sebagai berikut:
  • Tidak ada rasa pamrih
  • Bersikap selektif
  • Ada rasanya percaya yang layak baik terhadap keyataan maupun terhadap alat-alat indra serta budi
  • Adanya sikap yang berdasar pada suatu kepercayaan
  • Adanya suatu kegiatan rutin bahwa seorang ilmuan harus selalu tidak puas terhadap hasil penelitian yang telah dilakukan
  • Harus memiliki sikap etis (akhlak)
Norma-norma umum bagi etika keilmuwan sebagai mana yang dipaparkan secara normatif tersebut berlaku bagi semua sistem. Hal ini karena pada dasarnya seorang Ilmuwan tidak boleh terpengaruh oleh sistem budaya, sistem politik, sistem tradisi, atau apa saja yang hendak menyimpangkan tujuan ilmu. Tujuan ilmu yang dimaksud adalah objektivitas yang berlaku secar universal dan komunal.
Di samping sikap ilmiah berlaku secar umum tersebut, pada kenyataannya masih ada etika keilmuwan yang secar spesifik berlaku bagi kelompok ilmuwan tertentu. Misalnya etika kedokteran, etika bisnis, etika politisi, serta etika-etika profesi lainnya yang secara normatif berlaku dan dipatuhi oleh kelompoknya itu. Hail ini sudah tertentu jika pada diri para ilmuwan tidak ada sikap  lain kecuali pencapaian objektivitas demi kemajuan ilmu untuk kemanusiaan.

Moralitas Ilmu Pengetahuan
Nilai ini menyangkut etika, moral, dan tanggung jawab manusia dalam mengembagkan ilmu pengetahuan untuk dimanfaatkan bagi sebesar-besar kemaslahatan manuisa itu sendiri. Karena dalam penerapannya, ilmu pengetahuan juga punya bias negatif dan destruktif, maka diperlukan patron nilai dan norma untuk mengendalikan potensi “id” (libido) dan nafsu angkara murka manusia ketika hendak bergelut dengan pemanfaatan ilmu pengetahuan. Di sinilah etika menjadi ketentuan mutlak, yang akan menjadi well-supporting bagi pemanfaatan ilmu pengetahuan dan teknologi untuk meningkatkan derajat hidup serta kesejahteraan dan kebahagian manusia. Hakikat moral, tempat ilmuwan mengembalikan kesuksesannya.(Adib, 2013)

Pengingkaran dan Perlawanan Etika
Etika  sebagai modal dasara dalam pembentukan pengembangan ilmu pengetahuan yang lebih baik dan dapat dipertanggungjawabkan, etntunya tidak terlepas dari bebrapa pengingkaran dan perlawanan etika sendiri. Atau yang biasa disebut dengan pelanggran etika. Prinsip etika keilmuan yang berdasarkan kepada prinsip bebas nilai yang mengharuskan ilmu pengetahuan menolak campur tangan faktor eksternal, sudah tidak menjadi prinsip yang dinomorsatukan. Beerikut merupakan empat hal pengingkaran dan perlawanan terhadap etka yakni:
  1. Kejujuran : “kejujuran merupakan hal yang sangat mendasar dari manusia yang akan sangat berpengaruh dalam kehidupan masyarakat”
  2. Taksonomi ketidakjujuran : yakni “(i) bohong (ii) kecurangan sengaja (iii) mempergunakan data orang lain (iv) menahan informasi (v) tidak menyebarkan informasi.
  3. Penyalahgunaan dalam penggunaan data : dalam istilah keilmuan penyalahgunaan ini dibagi menjadi empat macam (i) trimmig (ii) cooking (iii) forging (iv) plagiat
  4. Permasalahan dalam publikasi : dalam publikasi hasil karya biasanya terjadi pelanggaran-pelanggaran yang tidak mengindahkan etika misalnya : (i) plagiatreferencing (ii) authorship dan kontribusi (Adib, 2013).





Komentar

Postingan populer dari blog ini

HAK DAN KEWAJIBAN INSINYUR

ETIKA DALAM DUNIA KETEKNIKAN

PENGERTIAN PROFESI, PROFESIONAL, PROFESIONALISME DALAM DUNIA KETEKNIKAN